Wednesday, November 20, 2013

ALIRAN FILSAFAT



Refleksi hari Jumat tanggal 1 November 2013 pukul 07.30 – 09.00 kuliah filsafat ilmu jurusan pendidikan matematika-S2 kelas C. Hakekat yang ada bersifat berbubah dan ada yang bersifat tetap. Tokoh dari ketetpan Permenides, alirannya Perenidesism, sedangkan tokoh dari yang berubah adalah Heraclitos, aliran filsafatnya disebut Heraclitosism. Semuanya ibarat pagi dan sore, serta semua filsuf terangkum di situ. Contoh yang tetap dari manusia yaitu manusia merupakan ciptaan Tuhan, sedangkan contoh yang berubah adalah manusia dari waktu ke waktu akan berubah, bahkan dari menit yang lalu ke menit yang sekarang manusia sudah berubah. Dari ketetapan munculah idealism, sedangkan yang berubah memunculkan realism. Yang bersifat tetap yaitu yang ada dalam pikiran manusia. Tokoh idealism yaitu Plato yang menyatakan matematika sudah sempurna, semuanya sudah ada di dalam matematika, jika belum sempurna artinya hanya belum menemukan matematika saja. Dalam perjalanan mencari hakekat kadang bisa salah ruang (missal di pasar), tokohnya adalah Francis Bacon. Tokoh realism adalah Aristoteles.
Paham idealism memunculkan rasionalism, tokohnya yaitu Rene Descartes, sedangkan paham realism memunculkan empiricism, tokohnya yaitu David Hume. Empiricism merupakan yang berubah. Rasionalisme kebenarannya bersifat koheren, sedangkan empiricism bersifat korespondensi. Dari kedua paham muncul class confronter pada abad ke-16 karena semakin professional, sehingga muncul tokoh Immanuel Kant. Segala macam yang koheren, konsisten, dan identitas merupakan sifat dari rasionalism, sedangkan korespondensi dan kontradiksi merupakan sifat dari empiricism. Pandangan Immanuel Kent menyatakan bahwa yang koheren, konsisten, dan identitas merupakan analytic yang kemudian memunculkan analytic a priori, sedangkan korespondensi dan kontradiksi merupakan bersifat sintetik yang memunculkan synthetic a posteriori. Pada synthetic a posteriori lebih cocok untuk anak-anak karena berpikir setelah melihat, sedangkan analytic a priori berlum bertemu dengan orangnya sudah memikirkan yang macam-macam. Analytic a priori berkembang menjadi pure mathematics, sedangkan synthetic a posteriori berkembang menjadi mathematics for school.
Kedua paham tersebut terus berlanjut hingga muncul Auguste Comte yang menganut paham positivism (anti filsafat) yang merupakan pangkal dari segala macam permasalahan hidup karena Auguste Comte mempunyai thesis tentang segala yang ada dan yang mungkin ada. Dari adanya thesis juga memunculkan anti-thesis, jika aku thesis maka tembok adalah anti thesis. Auguste Comte munculah tiga tingkatan, yang paling bawah adalah religius, kemudian tingkatan selanjutnya adalah tradisional, dan yang paling atas adalah masyarakat maju. Namun banyak protes tentang pandangan tersebut, karena religious dianggap tidak rasional dan tidak bisa dipakai untuk membangun masyarakat yang maju. Dari situ memunculkan cita-cita adanya empat tingkatan yaitu yang paling bawah adalah material, kemudian formal/formatif, lalu normative, dan yang paling tinggi spiritual. Dari dua tingkatan tadi muncul tantangan, yaitu adanya perbedaan antara pandangan Auguste Comte yang berpendapat bahwa religious ada di tingkatan paling bawah, sedangkan menurut cita-cita religious ada di tingkatan paling atas. Dengan adanya tantangan tersebut kemudian menyeruak menjadi power now.
Tingkatan yang paling bawah dari power now adalah archaic, kemudian di atasnya adalah tribal, lalu naik menjadi tradisional. Dari tradisional kemudian berlanjut menjadi feodal, lalu dari feodal naik menjadi modern, dari modern memunculkan tingkatan atasnya yaitu post-modern, dan yang paling tinggi adalah power now. Di dalam power now, spiritualitas masuk pada area tiga terbawah yaitu archaic, tribal, dan tradisional. Itulah sebabnya aktifitas yang berbau agama di tingkat dunia menjadi tidak modis, tidak trendy, dan tidak cool. Baju batik adalah baju yang anggun dan baju muslim juga merupakan baju yang cantik disini, namun ketika dalam pergaulan dunia pakaian seperti itu dianggap sebagai archaic, tribal, dan feodal. Padahal pandangan power now merupakan penentu dunia, bahkan seberapa banyak oksigen yang dihirup manusia ditentukan oleh power now. Mereka menganggap dunia ini semuanya sudah global, dunia ini adalah kampung mereka. Hal tersebut menyebabkan power now tidak rela saat Mesir ingin melakukan revolusi.
Di Indonesia juga terjadi pertentangan dan juga tantangan, bahkan pertentangan itu ada di dalam diri kita. Contoh dari pertentangan dan tantangan itu yaitu bahwa kita tidak bisa lepas dari pengaruh power now, bahkan handphone yang dipakai merupakan produk dari power now, sehingga kita tidak bisa menghindari bahwa kita sendiri tidak bisa lepas dari power now, tidak bisa lepas dari gadget yang merupakan produk dari power now. Di satu sisi kita harus berguru untuk urusan akhirat, bagaimana menghadapi dunia yang seperti ini, dan di satu sisi tidak boleh anti terhadap teknologi, karena kita menggunakan teknologi untuk memudahkan hidup kita. Oleh sebab itu, kita harus terus ber-hermeunitika yaitu terjemah dan menerjemahkan. Rasa ingin tahu orang beragama itu proporsional, sedangkan jika rasa ingin tahunya pada power now merupakan dewa keingin tahuan. Jika kita tidak memahami filsafat maka akan kesulitan untuk menghadapi fenomena tersebut.
Positivism bertentangan dengan filsafat, namun bukan berarti buruk, tetapi positivism merupakan fenomena dunia. Misalnya saja, malam itu lawan dari siang, tetapi malam bukan berarti buruk. Malam ada sesuai dengan kebutuhannya, yaitu kita tidur dan istirahat lebih cocok di malam hari, bukan di siang hari. Malam cocok untuk keadaannya, siang pun cocok untuk keadaannya, sehingga sesuai dengan peruntukannya dan semuanya diperlukan. Jika ada siang dan ada malam, maka bisa menyesuaikan dengan kegiatan kita. Oleh karena itu semuanya bukan permasalahan baik dan buruk, tetapi sesuai dengan peruntukannya.
Struktur masyarakat dibuat oleh power now, dimulai dari archaic yaitu masyarakat batu, kemudian atasnya adalah tribal yaitu suku-suku pedalaman seperti Papua, dan di atasnya adalah tradisional, disitulah agama yang mernurut mereka ada. Kemudian masyrakat feodal yang berbentuk kerajaan, lalu menuju masyarakat modern yaitu abad ke-16 oleh Immanuel Kant, dan dilanjutnya post-modern yang merupakan kehidupan kontemporer saat ini, yaitu power now.

HUBUNGAN ANTARA LOGIKA, PERASAAN, DAN TAKDIR



Refleksi hari Jumat tanggal 25 Oktober 2013 pukul 07.30 – 09.00 kuliah filsafat ilmu jurusan pendidikan matematika-S2 kelas C. Hubungan antara logika, perasaan, dan takdir dapat digambarkan dalam mini story romantika kehidupan yang mengandung unsur romantis. Dikisahkan romantika kakek dan nenek yang tinggal berdua saja karena anak-anaknya sudah bekerja dan tinggal terpisah dari mereka. Dinamika kehidupan itu naik turun, suatu ketika berpisah jauh ketika yang lain dekat, ketika yang lain sama-sama bahagia, ketika yang lain sama-sama susah, ketika yang satu bahagia dan yang satu susah, ketika yang lain sama-sama sehat, ketika yang lain sama-sama sakit.
Suatu ketika, kakek dan nenek sama-sama bekerja menghadap komputer. Kemudian ada tayangan televisi yang meliput tentang satu tahun masa jabatan Jokowi, kakek lalu memanggil nenek untuk menonton berita tersebut karena nenek suka dengan sosok Jokowi. Saat melihat tayangan Jokowi blusukan dan ada orang yang datang mencium tangan Jokowi, nenek menjadi teringat akan cerita Gamal Abdul Nazer yang juga didatangi seseorang yang memberikan rangkaian bunga tetapi kemudian bunganya meledak kemudian dia meninggal. Tetapi ternyata yang dimaksud nenek itu bukan Gamal Abdul Nazer, tetapi Indra Gandhi perdana menteri India. Padahal di dalam pikiran kakek sudah terpatri bahwa yang meninggal karena bom bunga adalah Gamal Abdul Nazer. Sehingga kakek menjadi bingung bagaimana cara menghapus memori yang salah tersebut. Untuk me-refresh memorinya, maka sang kakek berjalan ke belakang untuk melihat pohon-pohon. Secara tidak sengaja ada semut yang jatuh ke telinga kakek kemudia masuk ke dalam telinga kakek. Dengan kejadian semut yang masuk telinga, maka tujuan kakek untuk melupakan memori yang tadi telah tercapai.
Dari kisah tadi, maka logika tentang Gamal Abdul Nazer mempengaruhi perasaan kakek menjadi agak sedikit kesal karena adanya informasi yang salah. Sehingga logika mempengaruhi perasaan, yaitu perasaan kakek menjadi agak sedikit kacau. Kemudian saat kakek jalan-jalan keluar ada kejadian kejatuhan semut yang merupakan takdir. Jadi dalam kisah ini terdapat unsur logika, perasaan dan takdir dalam rangka dinamika romantika kehidupan rumah tangga kakek dan nenek.
Kisah lain juga dialami oleh dua insan manusia saat memasuki jenjang yang lebih tinggi. Saat hari pertama memasuki gerbang pendidikan yang baru dan perlahan mulai memasuki kelas, aku mulai berkenalan dengan teman-temanku. Kelas yang ramah, meyenangkan, penuh keceriaan, mulai berbagi cerita, dan juga pengalaman. Memiliki kelas yang baru serasa memiliki keluarga baru. Di saat yang bersamaan aku telah kehilangan kekasih hatiku, tetapi sharing dengan seorang teman membuatku terhibur. Secara logika, untuk lebih mudah melupakan orang di masa lalu, kita memulai kisah dengan orang yang baru. Semakin lama kita berbicara, semakin sering kita pergi bersama, rasa nyaman antara satu dengan yang lain pun mulai terasa. Berawal dari logika yang mempengaruhi perasaanku, ketika rasa nyaman saat bersamanya, rasa suka pun tak dapat terhindarkan. Aku suka dirinya dan dia suka diriku. Rasa suka kini perlahan tumbuh menjadi rasa sayang. Dari rasa sayang itu, dia ingin memilikiku, dia menginginkan aku menjadi kekasih hatinya. Namun ada sesuatu yang membuat kita sama-sama masih ragu untuk melangkah lebih jauh menjadi sepasang kekasih, yaitu iman yang berbeda. Walau ada yang bilang bahwa pacaran boleh beda iman, tetapi saat menikah harus seiman, tetapi hati kami masih ragu. Dengan doa yang sering terucap di bibir ini, akhirnya kami tahu jawaban dari Tuhan bahwa kami memang bukan ditakdirkan untuk bersama. Dia bukanlah takdirku. Sekuat apapun kami berusaha untuk saling menerima dan menyayangi, Tuhan telah memilihkan jalan lain yang lebih baik untuk kami. Tuhan telah mempersiapkan orang lain yang seiman untukku dan seseorang untuknya. Kita (aku dan dirinya) seperti sepasang sepatu, selalu bersama namun tak bisa bersatu. Cinta memang banyak bentuknya, tapi tak semua bisa bersatu.

BAHASA ANALOG: Hamba dan Talenta



Refleksi hari jumat tanggal 11 Oktober 2013 pukul 07.30 – 09.00 kuliah filsafat ilmu kelas C. Bahasa analog, ketika belum ada penjelasan tentang jaka tingkir, kita belum paham. Ketika sudah dijelaskan menjadi paham. Kemudian orang menggunakan dalam kondisi tertentu dan level tertentu sehingga orang mungkin tidak paham. Selain itu kita juga menjumpai bahasa, tujuannya adalah kita mampu mengkomunikasikan hal-hal yang dimensinya berbeda. Jadi dimensi orang tua berbeda dengan dimensi anak-anak, dimensi kakek-kakek berbeda dengan dimensi orang muda. Bahasa analog tidak sekedar pengandaian dan untuk memahaminya perlu waktu, perlu pengalaman, dan perlu ikhtiar, serta perlu mengalaminya. Itulah pentingnya berdimensi dan bahasa.
Berfilsafat itu mengembangkan kemampuan untuk mengkomunikasikan antara hal-hal yang ada pada dimensi tertentu. Kemudian dengan   adanya pertanyaan mengenai dimensi material, kemudian naik ke dimensi formal, kemudian naik ke dimensi normative, dan kemudian dimensi spiritual sebagai modal awal untuk mulai sensitive terhadap ruang dan waktu. Padahal yang digambarkan tentang 4 dimensi itu baru sebuah struktur yang dibuat, struktur yang lain masih banyak. Menyadari adanya struktur lain yang masih banyak tersebut itu manfaat mempelajari filsafat, apalagi mengenali, apalagi mendeskripsikn, apalagi menggunakannya. Struktur hidup itu mulai dari diriku, dirimu, dan diri kita. Diri s2 UNY, diri UNY, diri pendidikan, diri pendidikan nasional itu sudah merupakan suatu struktur tersendiri.  Tetapi mulai dari diriku, diri keluargaku, diri tetanggaku, diri RTku, RWku, kampungku, kelurahanku, kecamatanku merupakan struktur lagi. Pikiran, hati, badaniah, rohaniah merupakan struktur. Jadi ada banyak struktur yang perlu dikenali, diidentifikasi, dijabarkan, dan seterusnya.
Ketika menulis karya ilmiah menggunakan bahasa ilmiah yang mempunyai tipikal dan karakter tertentu, antara lain: tidak didominasi oleh unsur-unsur estetika tetapi hanya etika, bahasa ilmiah tidak mementingkan keindahan atau yang penuh dengan personality melainkan impersonal. Saat mengajarkan matematika untuk anak TK, tidak perlu bernyanyi menggunakan matematika, tetapi seharusnya memahami hakekat matematika untuk anak. Seharusnya dapat dibedakan antara matematika untuk anak dan untuk orang dewasa. Analoginya, anak yang masih berumur 2 bulan diberi makan jagung bakar oleh kakaknya, karena kakaknya suka makan jagung bakar. Sebelum diberi makan jagung bakar, dinyanyikan dahulu.  Walaupun diawali dengan nyanyian jagung bakar, namun tetap saya anak usia 2 bulan tidak bisa makan jagung bakar. Sehingga harusnya dibedakan jagung untuk orang dewasa dan jagung untuk bayi. Namun pendidikan telah dijadikan proyek oleh orang kalangan atas, karena dunia pendidikan banyak uangnya. Di Indonesia diawali dengan basic science/ilmu dasar, sehingga SD mempelajari basic science yaitu calistung (baca tulis hitung) sehingga yang menjadi korban adalah generasi muda. orang-orang kalangan atas beranggapan bahwa dalam pendidikan yang dianalogikan sebagai jagung bakar, sehingga orang dewasa makan jagung besar dan anak-anak makan jagung bakar kecil. Mereka pandai berbicara tentang matematika sekolah, namun yang dimaksud dengan matematika sekolah itu lain. Matematika sekolah yang mereka pahami adalah matematika yang diajarkan di sekolah. Sedangkan menurut Prof. Dr Marsigit, MA, matematika untuk orang dewasa merupakan ilmu, sedangkan untuk anak kecil matematika merupakan kegiatan (misalnya kegiatan mencari pola, kegiatan mencari persamaan, kegiatan mencari perbedaan, kegiatan mengurutkan, kegiatan membandingkan.
Orang dikatakan pandai berfilsafat ketika sadar ruang dan waktu dari berbagai macam dimensi intensif dan ekstensif. Jika ingin dikatakan cerdas dalam pendidikan matematika maka harus paham isi dari pendidikan matematika itu apa dan mampu mengkomunikasikan sesuai dengan dimesinya. Pentingnya berfilsafat adalah karena filsafat itu berusaha mempelajari kemampuan atau ketrampilan berkomunikasi serta membangun hidup meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Keluarga itu hidup, pendidikan matematika itu hidup, sehingga yang dimaksud dengan membangun hidup bisa merupakan membangun keluarga, membangun pengetahuan matematika, membangun persaudaraan, membangun amal perbuatan yang baik, dan seterusnya. Dampak dari mempelajari filsafat maka orang akan lebih bijaksana karena sesuai dengan ruang dan waktu.
Untuk bahasa-bahasa horisontal artinya ekstensi itu merupakan bahasa yang melintas dari dimensi satu ke dimensi yang lain. Sebagai contoh dalam penulisan karya ilmiah, jika menggunakan filsafat minded dalam menulis, maka hal tersebut tidak santun terhadap ruang dan waktu. Dalam penulisan karya ilmiah bersifat impersonal, subyek dan obyek tidak perlu disebut. Berbeda dengan penulisan elegi yang subjektif. Jadi setelah kita mampu berbicara dengan bahasa multidimensi, dimensi yang beraneka ragam, maka kalau diterapkan di luar kadang-kadang orang itu menilai dari dimensinya. Maka ketika orang berbicara tentang hakiki, dia mempunyai motif tertentu. Ketika Prof. Dr Marsigit, MA menjadi pembicara di Thailand, keynote speaker dari Inggris berbicara tentang hakekat matematika, yaitu “whatever, whenever, and wherever 2 + 5 = 7”. Kemudian Prof. Dr Marsigit, MA memberikan sanggahan bahwa 2 + 5 tidak selalu sama dengan 7, misalnya 2 buku + 5 pensil tidak sama dengan 7 buku. Disini tentang pembicara dari Inggris berbicara yang hakekat matematika yang bermotif mendapatkan uang dari buku yang akan diterbitkan. Seharusnya kita mengetahui ontology hakekat dan mengerjakan secara ontologis dan memperoleh ada, mengada, dan pengada juga secara ontologis. Secara ontologis wadah ketemu isi, misalnya wadahnya adalah menjadi professor dan isinya adalah kegiatan-kegiatan menjadi professor. Mau tidak mau isi mencari wadah dan wadah mencari isi.
            Contoh lain tentang bahasa analogi yaitu perumpamaan tentang seorang yang mau bepergian ke luar negeri, yang memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan hartanya kepada mereka. Yang seorang diberikannya lima talenta (talenta itu sebenarnya adalah ukuran timbangan sebesar 34 kilogram), yang seorang lagi dua dan yang seorang lain lagi satu, masing-masing menurut kesanggupannya, lalu ia berangkat. Segera pergilah hamba yang menerima lima talenta itu. Ia menjalankan uang itu lalu beroleh laba lima talenta. Hamba yang menerima dua talenta itu pun berbuat demikian juga dan berlaba dua talenta. Tetapi hamba yang menerima satu talenta itu pergi dan menggali lobang di dalam tanah lalu menyembunyikan uang tuannya.
Lama sesudah itu pulanglah tuan hamba-hamba itu lalu mengadakan perhitungan dengan mereka. Hamba yang menerima lima talenta itu datang dan ia membawa laba lima talenta katanya, “Tuan, lima talenta tuan percayakan kepadaku lihat, aku telah beroleh laba lima talenta.” Maka kata tuannya itu kepadanya, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu. Lalu datanglah hamba yang menerima dua talenta itu katanya, “Tuan, dua talenta tuan percayakan kepadaku lihat, aku telah beroleh laba dua talenta.” Maka kata tuannya itu kepadanya, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar.” Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.
Kini datanglah juga hamba yang menerima satu talenta itu dan berkata, “Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan yang memungut dari tempat di mana tuan tidak menanam.” Karena itu aku takut dan pergi menyembunyikan talenta tuan itu di dalam tanah, terimalah kepunyaan tuan!” Maka jawab tuannya itu, “Hai kamu, hamba yang jahat dan malas, jadi kamu sudah tahu, bahwa aku menuai di tempat di mana aku tidak menabur dan memungut dari tempat di mana aku tidak menanam? Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan uang, supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya. Sebab itu ambilah talenta itu dari padanya dan berikanlah kepada orang yang mempunyai sepuluh talenta itu. Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apa pun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya.”
Makna dari perumpamaan ini di jaman sekarang adalah talenta sebagai bakat yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Tuhan telah memberikan bakat yang berbeda-beda kepada setiap manusia, ada yang diberi 5, 2 dan 1 sesuai dengan kesanggupannya masing-masing. Mengelola dan mengerjakan talenta-talenta itu adalah ujian apakah mereka layak untuk mendapatkan atau dipercayakan perkara-perkara yang besar. Yang dituntut bukanlah angka tetapi sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dua hamba pertama menunjukkan kualitas diri mereka bahwa mereka adalah hamba-hamab Tuhan yang baik dan setia, mereka mampu menghasilkan talenta sejumlah kemampuan mereka.
Apabila semua hamba dipercayakan sama banyak, misalnya masing-masing diberikan 10 talenta, apakah ketiga hamba itu akan menghasilkan masing-masing 10 talenta? Jawabannya “tidak.” Karena seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa tuan mereka memberikan talenta-talenta itu berdasarkan kemampuan mereka untuk mengelolanya. Hamba pertama diberikan 5 talenta karena kemampuannya adalah menghasilkan laba 5 talenta, jika ia dipercayakan kurang dari 5 talenta maka ia tidak akan maksimal. Demikian pula halnya dengan hamba kedua dipercayakan 2 talenta karena dengan jumlah demikian ia bisa maksimal, yakni menghasilkan 2.
Pesan perumpamaan secara keseluruhan adalah berbuah dan bertanggung jawab atas bakat yang Tuhan percayakan kepada kita. Masing-masing dari kita diberikan bakat yang berbeda dengan porsi yang berbeda pula supaya manusia percaya pada Tuhan dan menggunakan bakat yang dimilikinya sebaik mungkin bagi kemuliaan Tuhan.
Konsep talenta ini seharusnya membuat orang-orang tidak saling cemburu karena beberapa orang mengerjakan banyak perkara yang besar sementara sebagian lagi hanya mengerjakan pekerjaan yang sederhana. Sebagian orang memang diberikan karunia yang luar biasa sehingga mereka dapat melakukan banyak hal dengan sangat baik tetapi sebagian lagi hanya bisa mengerjakan sedikit. Tuhan selalu memberikan pelayanan berdasarkan kemampuan orang tersebut untuk mengerjakannya dengan baik. Oleh karena itu orang yang dipercayakan banyak harus bekerja lebih keras dan orang-orang yang dipercayakan hanya sedikit tidak boleh merasa diri kecil. Setiap orang memiliki bagiannya sendiri-sendiri karena itu setiap orang harus bertanggung jawab atas bakat menjadi bagiannya dan mengerjakannya dengan setia sampai waktu yang dipercayakan itu selesai.
            Namun ada juga ada manusia yang telah diberi bakat oleh Tuhan dan hanya menyimpan bakat yang dimilikinya. Bakat yang telah diberikan Tuhan hendaknya kita kembangkan dengan baik supaya menghasilkan karya yang dapat memuliakan Tuhan, namun apabila bakat tersebut hanya disimpan saja, Tuhan akan mengambil kembali bakat itu dan memberikannya kepada hamba lain yang lebih bertanggung jawab dan mau mengembangkan bakatnya. Oleh sebab itu hendaknya kita menyadari bahwa Tuhan telah menganugerahkan bakat untuk kita masing-masing yang harus kita kembangkan sehingga berbuah semakin banyak dan Tuhan pun akan mempercayakan perkara yang lebih besar kepada kita jika kita setia kepada perkara yang kecil.

DIMENSI MATERIAL, FORMAL, NORMATIF, DAN SPIRITUAL



Berikut ini adalah refleksi mata kuliah filsafat ilmu pada hari Jumat, 4 Oktober 2013 bersama dengan Prof. Dr. Marsigit, MA untuk Program Studi Pendidikan Matematika kelas C di ruang 103 gedung lama Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Banyak pertanyaan yang muncul dalam belajar filsafat. Jika bertanya menandakan adanya kebingungan. Dengan adanya kebingungan tersebut, berarti manusia sedang berpikir. Berpikir sedalam-dalamnya mengandung makna mencari hakikat. Dalam sedalam-dalamnya juga berarti tinggi setinggi-tingginya dalam filsafat, luas seluasnya juga mengandung makna sempit sesempit-sempitnya. Menjawab pertanyaan tentang dimensi formal, normatif, material, dan spriritual itu bermaksud berfikir intensif, mengintensifkan pengertian istilah, makna, dan bahasa. Kita membuat pembagian dengan cara yang sangat kasar. Dunia yang begitu rumit, kompleks yang begitu besar hanya dibagi menjadi 4. Ternyata material pun berdimensi, formal pun berdimensi, normatif pun berdimensi, dan spiritual pun berdimensi. Dan dimensinya itu satu dengan yang lain merentang meliputinya dengan yang lain. Dimensi material meliputi juga spiritual, dimensi formal meliputi juga formal dan spiritual, dimensi normatif meliputi juga material dan spiritual, apalagi dimensi spiritual meliputi semuanya.
Dimensi material, bagaimana orang melihat dan memaknai benda-benda di sekitar kita. Misalnya orang yang melihat pasir di sungai kemudian berpikir dan takut karena sungainya dangkal dan bisa menjadi banjir. Tetapi ada juga yang bersyukur karena sebentar lagi akan mendapatkan banyak uang dan dapat diekspor ke Singapura. Jadi material itu berdimensi-dimensi. Si subyeknya berdimensi dan yang dipikirkan juga berdimensi. Artinya cara seorang anak kecil memahami dunia di sekitarnya bebeda dengan cara orang tua memahami dunia. Mungkin anak kecil memahami dunia disekitarnya hanya jarak jauh dekat, senang tidak senang, baik tidak baik.
Formal itu juga berdimensi, formal dalam diri sendiri, formal dalam keluarga, formal hubungan suami istri, formal bertetangga, formal bermasyarakat, formal berkuliah, formal berkantor, formal dalam lingkup satu budaya, dan formal universal. Ada jangkauan dimana anda bersifat formal, formal itu menyangkut yang informal, selalu seperti itu. Misalnya di rumah sedang kedatangan tamu, maka cara berpakaian seseorang menentukan tingkat keformalan seseorang. Ada atau tidak adanya orang dirumah, sikap kita menentukan keformalan diri. Disini tidak membicarakan tentang baik dan buruk, tetapi kadar keformalan. Misalnya saat dirumah tidak ada orang pun, saat melewati kursi juga bilang permisi karena sudah terbiasa. Tetapi mungkin karena kebiasaan juga posisi duduknya menentukan keformalan. Misalnya saat kuliah filsafat duduknya tidak dalam posisi biasanya tetapi posisi berkerumun. Bentuk formal itu menjamin, formal itu wadahnya dan normatif itu isinya.
Antara wadah dan isi tidak bisa hanya dipentingkan salah satu saja, dua-duanya saling melengkapi. Ada orang berpakaian rapi dan formal namun pembohong, ada juga yang penampilannya seadanya namun jujur dan komit terhadap pekerjaan. Tetapi wadah itu juga menjamin substansi. Ketika menyampaikan kuliah filsafat di terminal Condong Catur maka tidak akan ada manfaatnya dan yang dibicarakan tidak ada gunannya, karena tidak ada daftar hadir dan tidak tercatat sebagai perkuliahan. Bahkan kecelakaan pun ada kecelakaan formal dan kecelakaan tidak formal. Saat seorang pengendara sepeda motor tidak membawa Surat Ijin Mengemudi (SIM) dan mengalami kecelakaan maka kecelakaanya tidak formal. Karena tidak fomal maka tidak resmi, sehingga tidak berhak mendapatkan jasa raharja. Itulah akibatnya jika mengabaikan formalitas. Jadi SIM adalah bentuk formal, wadahnya dari hak untuk memperoleh jasa raharja. Jadi formal itu tidak boleh diabaikan. Contoh lainnya adalah helm, setiap pengendara harus memakai helm, karena itu adalah aturannya. Jadi bentuk formal itu menjamin. Maka material dari cinta adalah cincin, karena sewajarnya jika bertunangan itu tukar cincin, bukan tukar rumah, tukar bunga, atau tukar kambing. Misalnya saja tukar kambing, lalu setelah bertunangan kambingnya mati, maka bagaimana dengan cintanya? Karena material cinta itu menyangkut kualitas, dicari yang awet, yang tahan banting, yang kemana-mana mudah dibawa, yang mudah disimpan dan diingat, maka cincinlah yang paling tepat. Misalnya bertunangan dengan tukar menukar tali sepatu, logikannya tali sepatu ada di bawah dan mungkin terinjak, maka value dari cintanya dipertanyakan. Selain itu, misalnya bertunangan dengan tukar menukar file, maka masih mungkin terkena virus, terdelete, dan sebagainya. Maka sudah teruji bahwa material yang paling cocok untuk cinta adalah cincin.
Filsafat berdasar pada pengalaman sehari-hari dalam kehidupan. Kita mendapatkan pengalaman hidup dengan membaca. Bagaimana akan mendapatkan pengalaman jika tidak membaca? Membaca elegi merupakan bacaan informal, tingkah laku kita sambil memikirkannya dan merefleksi, itulah bacaan sesungguhnya. Bacaan substansi yang berarti kemanapun kita melangkah, maka kita memikirkannya.
Selanjutnya, bentuk formal dari cinta adalah menikah karena menikah itu menjamin hak dan kewajiban. Jika tidak ada pernikahan maka hanya menguntungkan pihak laki-laki dan merugikan perempuan. Tetapi karena perkembangan manusia yang hebat, yang cepat, yang sophisticated, dengan teknologi canggih sehingga orang lama-lama menjadi kaya, mempunyai pesawat pribadi, dapat membeli pulau sehingga tak terbebankan menanggung kewajiban. Sehingga jika pernikahan menjadi masalah, maka diambil jalan pintas yaitu memisahkan antara cinta dengan pernikahan, cinta ya cinta, menikah ya menikah. Tidak ada hubungan antara cinta dan married untuk mereka yang mengambil alternatif sehingga tidak menanggung beban dan kewajiban. Dari waktu ke waktu muncul perceraian sehingga terjadi pembagian harta dan denda uang, sehingga menyebabkan orang mencari jalan pintas dan menganulir bentuk formalnya.  Cinta merupakan kasus individu, jika diekstensifkan maka kambing-kambing pun bercinta, tumbuh-tumbuhan bercinta, batu pun juga bercinta. Romanticism adalah suatu jalan yang tidak mudah. Apalagi cinta Yang Maha Kuasa.
Hanya dengan filsafat saja kita mampu menganalogi bahwa berpikir adalah gerak. Artinya berpikir itu tidak dalam keadaan diam, itu material. Contohnya ketika batu sedang terjun dari puncak gunung ke lembah, maka batu itu sebenarnya sedang berpikir karena ada gerakan. Berpikirlah engkau batu, kenapa engkau yang begitu besar, tempatmu duduk disitu tidak cukup kuat menopangmu di situ. Kalau engkau memang ingin bergerak, maka bergeraklah. Contoh lain adalah laut. Wahai laut, engkau yang begitu besar, tunjukkanlah bahwa dirimu berpikir. Kenapa laut yang begitu besar, permukaannya yang begitu lembut, dan ada angin yang begitu besar, kenapa engkau tidak mau berubah? Maka terbentuklah gelombang laut yang tidak pernah berhenti. Berpikir adalah kodrat, maka wajib menuntut ilmu karena menuntut ilmu itu adalah kodrat.
Wadah tanpa isi adalah kosong. Isi tanpa wadah juga tidak mempunyai makna. Dua-duanya haruslah seimbang antara wadah dan juga isi. Ada cerita tentang istri dari Prof. Dr. Marsigit, MA yang sedang pergi ke Cina dengan rombongan kepala sekolah. Ada salah satu anggota rombongan yang tertinggal di imigrasi Cina karena mempunyai nama Bin Hambali. Maka selama empat jam imigrasi Cina berusaha mempelajari tentang Hambali, sehingga menyebabkan penundaan rombongan selama empat jam. Hal ini memberikan contoh bahwa imigrasi  Cina menemukan  wadah, yaitu wadah Hambali, namun setelah diaduk-aduk tidak menemukan isi di dalamnya.
Kecerdasan sopan santun baru berdimensi empat, yaitu: material, formal normatif, dan spiritual. Padahal setiap yang ada dan yang mungkin ada mempunyai dimensinya masing-masing dan mempunyai bahasanya masing-masing. Contohnya adalah bagaimana cerita Sang Arjuna bercinta dalam kisah Ramayana berbeda dengan bagaimana seorang preman bercinta. Hal ini juga berbeda ketika para dewa bercinta. Jangan pernah mengganggu para dewa yang sedang bercinta. Jika para dewa bercinta bisa mengubah dunia, sedangkan cintanya preman maksimal hanya merubah gang. Cinta Betara Guru dalam hal ini para dewa yaitu dengan terbang di angkasa, kemudian jatuh cinta kepada Betari Durga yang sangat cantik, namun cintanya kemudian jatuh ke permukaan air laut, salah ruang dan waktu, maka lahirlah Betara Kala yang berarti tentang keburukan, itulah cinta Mahabarata dan ada sub-subnya misalnya Baratayudha yang dapat merubah dunia. Maka karena cintanya seorang proklamator, Indonesia tetap bekerjasama dengan Jepang dan menghidupi rakyat Jepang. Pribadi kita terlihat dari tutur kata dan bahasa yang kita gunakan. Berbeda lagi dengan cintanya orang filsafat. Cintanya orang filafat adalah romantis, romanticism. Tetapi ternyata romantis disitu bukan tentang cinta, melainkan tentang etik, estetika, idealis, dan lain-lain.
Filsafat itu sangat halus, tiada yang dapat menandingi kehalusan dan kelembutan filsafat. Misalnya berfilsafat yaitu sekarang sudah sampai di London, kemudian ke Melbourne, Tokyo, New York, kembali ke Jogja, secepat itu dan selembut itu. Maka berfilsafat itu artinya memperlembut diri sendiri. Ada pertanyaan berfilsafat, yaitu bagaimana ketemu Tuhan? Semakin ketimur, ke negara beragama maka akan dijawab, “Tidak akan bertemu jika hanya bertanya saya.” Kerjakan saja langsung, maka jika diijinkan akan bertemu dengan Tuhan. Sama halnya dengan berfilsafat, yaitu membaca saja. Dengan membaca maka akan bertemu dengan filsafat. Saat membaca itu maka akan bertemu dengan filsafat. Begitu pula saat berdoa maka akan bertemu dengan Tuhan.