Monday, September 9, 2013

GAMBARAN UMUM TENTANG FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA


Tidak mudah orang mengatakan cinta. tidak sembarang orang mengatakan cinta. cinta itu juga tidak sederhana, karena cinta itu berdimensi sampai pada dimensi spriritual. Maka kita jangan tergesa-gesa soal cinta, yang alami saja. Ada nyanyian mengatakan “jangan tergesa-gesa bilang I love you”. Dan ada juga ungkapan, “Darimana datangnya cinta? dari mata turun ke hati. Darimana datangnya lintah? Dari sawah turu ke kali.”
            Gambaran umum tentang filsafat pendidikan matematika. Filsafat pendidikan matematika, kalau kita ambil sebagian dari filsafat matematika atau filsafat pendidikan. Kalau filsafat pendidikan berarti ada filsafat-filsafat yang lain seperti filsafat matematika, filsafat saince, filsafat seni, dan sebagainya. Kemudian kita tarik ke depan sedikit menjadi filsafat umum. Maka aku temukan bahwa apapun filsafatnya, betapapun scope-nya, entah yang luas ataupun sempit, ibarat kromosom, kalau orang hidup ibarat genetika dan kromosom. Orang hidup itu ibarat genetika dan kromosom, struktur bayi dan oaring dewasa itu sama. Jika tidak sama, akan menjadi menakutkan. Akan menjadi berbeda jika ada anomaly atau penyakitnya atau kelainan. Seperti pada national geography, ada kelainan genetika. Jika digambarkan, genetika terdiri dari susunan DNA-DNA, sehingga setiap manusia tidak ada yang sama, sehingga bisa di lacak keturunan siapa. Sehingga kalau terjadi kelainan genetika karena fisik, benturan, zat kimia, zat pewarna, karena radiasi, radiasi nuklir yang membuat genetika berubah. Jangankan genetika berubah, ada satu genetika yang rusak, maka tubuh kita akan bermasalah. Misalnya ada yang mempunyai penyakit faskular, kelainan pada pembuluh darah yang terjadi pada leher. Hal itu terjadi karena ada gen pembuluh darah yang rusak sehingga pertumbuhan pembuluh darah pada leher tidak bisa dikendalikan sehingga menimbulkan masalah. Itu merupakan salah satu contoh peran genetika. Jika kita ingin mempertahanka genetika, maka jangan menikah dengan orang yang family-nya berdekatan, beda provinsi, beda kabupaten, dan sebagainya.
            Filsafat itu entah scope luas atau kecil ibarat genetika atau kromosom, ada strukturnya. Maka filsafat makro pada dunia ini strukturnya sama dengan struktur filsafat pada diriku, sama pada filsafat Negara, sama dengan kaum industrial trainer, strukturnya yang sama tetapi konten yang berbeda, metode yang berbeda. Strukturnya ada 3, yaitu ontology, epistimologi, dan aksiologi. Ontology adalah hakekat, epistimologi itu adalah metode. Tetai jika epistimologi dikatakan metode itu berarti pembicaraannya sangat primitive atau orang yang belum pernah mempelajari filsafat, karena sesungguhnya epistiologi itu adalah sumber pengetahuan, sumber ilmu, macam ilmu, kebenaran ilmu, referensi-referensi terkait, pengembangan ilmu. Antara ontology dan epistimologi itu tidak bisa dipisah. Dari struktur kata, kalau kita bicara soal hakekat atau ontology, tetapi hakekat tidak akan pernah bisa ditemukan jika tidak dipikirkan yaitu epistimologi. Salah satu cara memikirkan adakah menyadarinya. Letakan kesadaranmu di setiap hakekat, kesadaran itu adalah epistimologi. Salah satunya dengan mengajukan pertanyaan sederhana “Apakah hakekat itu?”. Hakekat adalah ontology, sedangkan kalau sudah menggunakan kata “apakah” maka disebut epistimologi. Jadi tidak bisa hakekat itu kita pelajari tanpa epistimologi, karena kita mempelajari itu adalah epistimologi. Karena sesungguhnya 3 struktur filsafat itu sangat penting. Ibarat tubuh kita antara jasmani dan rohani. Rohani kita segera pergi jika jasmani kita pergi meninggalkan dunia ini menuju akhirat. Jadi ada dua kesatuan, jasmani dan rohani.
            Semua yang kita pelajari dan kita bicarakan dalam filsafat adalah epistimologi. Orang mengatakan epistimologi sebagai filsafat ilmu. Maka sebenar-benarnya filsafat ilmu adalah filsafat itu sendiri. Jadi, semua elegi2 itu adalah epistimolgi karena kita berusaha untuk menuliskan, memikirkan, dan berdiskusi. Epistimologi salah satu contohnya adalah metode, tetapi bukan satu-satunya pendekatan. Jika direduksi kembali, maka epistimologi adalah teori berfikir secara filosofis. Maka, dalam mempelajari filsafat bersifat kontekstual, apakah orang Yunani, apakah orang yahudi, orang Indonesia, orang Jawa, orang amerika, dan seterusnya. Kontekstualnya orang Indonesia, khususnya Jawa, adat dan tata caranya berbeda. Kenapa bisa berbeda? Karena adat dan tata cara berfilsafat itu bersifat kontekstual. Kenapa bisa kontekstual? Karena berbicara filsafat itu bisa dalam scope yang lebih kecil, mikro osmosisnya diriku sendiri. Semua yang makro itu semuanya relevan. Fungsi onto atau bijektif atau satu-satu, isomorfisme antara makro dan mikro, unsur pendukungnya karena strukturnya sama. Kalau bapaknya perbuahan adalah Heraklitos, maka diriku yang berubah. Apa yang berubah? Yang berubah adalah umurku, berat tubuhku, seleraku, semuanya selalu berbuah. Sedangkan, bapaknya yang tetap adalah Permenides yang makro, di dalam diriku yang tetap. Apapun diriku adakah tetap sebagai makhuk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, tidak akan pernah berubah selamanya. Jadi di dalam kita berfilsafat very easy atau sangat mudah, yang berubah apanya dan yang tetap apanya. Jadi, jika orang belajar filsafat hanya sepenggal maka akan berbahaya sekali dan bingung. Dunia itu tetap, dunia itu berubah, maka terjadi kontradiksi yang membuat bingung dan pusing hingga demam karena memikirkan perubahan. Aku berikhtiar seakan akan hidup 1000 tahun lagi, dan aku berdoa seakan akan meninggal besok, begitulah spiritualnya. Jadi semua yang ada dalam filsafat itu relevan dalam hidup.
            Sceptic atau keraguan seperti halnya ragu jika ada orang yang mengatakan “I love you” berkali-kali. Bapaknya keragu-raguan itu adalah Rene Descartes. Di dalam diriku dan pikiranku ada keragu-raguan. Itulah awal dari pengetahuanmu. Jika keraguan itu ada di dalam hatimu, maka mungkin itu adalah setan, sehingga tunggulah sampai evidence untuk melangkah. Empiris adalah pengalaman, rasio adalah pikiranku, semuanya. Jadi jangan dikira filsafat itu jauh disana. Kita tidak perlu berziarah filsafat sampai Yunani. Jika kita ingin melihat dan mengetahui makronya, maka tengoklah pada dirimu sendiri. Karena sesungguhnya dunia itu persis seperti apa yang engkau pikirkan. Maka dalam perkembangan ini, untuk mempelajari filsafat harus menggunakan tata cara. Tidak hanya filsafat, tetapi untuk mempelajari segala sesuatu itu ada tata cara. Tata cara itu merupakan metode, metode itu adalah epistimologi. Jadi sah-sah saja jika ada orang yang mengatakan bahwa filsafat itu tidak lain tidak bukan adalah tata cara, adat. Hidup ini adalah proses. Proses itu sendiri adalah hasil. Hidup ini adalah jarak antara takdir dan ikhtar. Ternyata ikhtiar sendiri adalah takdir. Manusia ditakdirkan untuk bisa berikhtiar. Hidup ini seklaigus proses dan juga produknya.
Adat dalam belajar filsafat harus didasari spiritualtas, dan juga darus dipayungi spiritualtas, bawah spiritualitas, atas spiritualitas. Jadi filsafat itu tidak lain tidak bukan jarak antara dua spiritualitas. Berfilsafat itu untuk memperkokoh spiritualitas kita, untuk mengisi agar hidup ini dalam beribadah lebih bermakna menggunakan filsafat. jika tidak akan berbahayanya. Bahayanya orang berfilsafat jika tidak komprehensif atau sepenggal-sepenggal. Maka dalam menulis elegy ada elegy menggapai ramai, kemudian ada elegy menggapai sepi, sehingga ada kontradiksi. Sehingga ada orang yang komentar bahwa kepribadian pak marsigit yang bingung. Karena bapak kebingungan adalah pak marsigit, simbah kebingungan juga pak marsigit. Karena ternyata, supaya kita memperoleh kejelasan pengetahuan melalui kebingunan-kebingunan. Kebingungan yang dimaksud disini bungan kebingungan di dalam hati seperti yang kita harapkan, melainkan kebingungan yang berupa sintesis. Contohnya elegy menggapai ramai, berikutnya elegy menggapai sepi, pemberontakan para benar, selanjutnya pemberontakan para salah. Jika dilihat sepintas, maka akan menyaksikan kebingungan yang luar biasa sekali di sana. Jadi berbahayanya itu jika tidak komprehensif, dikiranya orang harus memilih salah satu, memilih yang berubah atau yang tetap. Apalagi jika dikatakan kita ini sekaligus berubah sekaligus tetap, maka akan menjadi bingung lagi. Selanjutnya apabila dikatakan hidup itu adalah kontradiksi, maka akan semakin bingung lagi.
Jika diibaratkan akan sangat mudah, dunia ini sekaligus siang sekaligus malam, sekaligus panas sekaligus dingin, diriku yang berubah sekaligus tetap. Apanya yang dingin dan apanya yang panas? Karena kalimatnya belum diteruskan maka akan menjadi berbahaya, karena bersifat parsial. Maka berfilsafat adalah menjelaskan. Penjelasan adalah metode berfikir, dan metode berfikir itu adalah epistimologi. Contoh lain: ada pernyataan bahwa Descartes itu meragukan Tuhan. Padahal kalimatnya tidak berhenti sampai disitu, melainkan Descartes itu meragukan Tuhan dalam rangka untuk menemukan Tuhan. Walaupun kita tidak mengikuti cara seperti itu untuk menemukan Tuhan, karena sesungguhnya sesuai dengan imanku, tidak ada keraguan sedikitpun terhadap Tuhanku. Ada lagi pernyataan lain yang menyatakan bahwa matematika itu adalah agama, sehingga membuat orang menjadi kebingungan. Padahal, pernyataan itu ada pada jaman Pythagoras, yaitu sekitar 2000-2500 tahun sebelum masehi, yang saat itu belum ada agama. Jadi sebenarnya wajar saja apabila pada jaman itu dikatakan matematika adalah agama. Jadi akan sangat berbahaya sekali apabila filsafat itu dipelajari secara parsial, sepenggal-sepenggal. Jadi jangan sampai kita mencoba bertanya, “Mengapa Tuhan tidak mampu mengangkat batu yang besar sekali?”. Karena dengan begitu berarti kita masukan semua unsure dalam filsafat. Itulah kengerian dalam berfilsafat, jika tidak didasari dengan spiritualitas.
Unsur spiritual itu sangatlah penting. Jangankan yang tampak, yang tidak tampakpun kita juga merasakan. Misalnya ada seseorang yang sedang marah pada orang lain, tetapi tidak dapat memikirkan dan merasakan apa penyebabnya bisa marah terhadap orang lain. Maka saat kita memikirkan sesuatu tapi tidak sampai, logikanya tidak nyambung, sebenarnya spiritual kita mengalami degradasi, mengalami erosi. Jika sampai pada taraf seperti itu, maka aku mengajak diriku untuk berdoa. Berdoa itu tidak main-main. Jangankan berdoa, memanggil nama orang saja berdimensi, mau sms saja berdimensi. Misalnya untuk sms kepada dosen, maka harus dengan kata-kata dan kalimat yang sopan dan santun. Apalagi jika memanggil nama Tuhan, maka tidak boleh main-main.
Untuk mempelajari tata cara beribadah yang benar, maka kita bisa mendatangi guru spiritual, ulama, atau datang dan tinggal beberapa hari di tempat ibadah. Pada saat tinggal di tempat ibadah itu, kita bisa belajar dan membenarkan tata cara beribadah kita supaya semakin besar. Bahkan, menyebut nama Tuhan harus benar dan tidak boleh sembarangan. Di tempat itu kita bisa memperbanyak doa yang kita panjatkan kepada Tuhan, karena sesungguhnya kita harus bedoa yang banyak. Doa adalah komunikasi kita dengan Tuhan sendiri. Dalam memanggil nama Tuhan, kita bisa menggunakan tasbih, tetapi cara menggunakannya harus pelan-pelan dan memaknai dalam menyebutnya, jangan hanya asal cepat saja. Doa juga dapat menciptakan medan doa, sehingga minuman yang berada di sekitar orang berdoa pun dikenai medan doa. Maka jika kita ke Bali, maka kita dipurifikasi di sana. Maka saat minuman sudah didoakan, maka bisa digunakan untuk obat, untuk sebagian mandi, dan sebagainya. Pada intinya bedoa itu sebanyak-banyaknya, jangan ngirit berdoa.
Kalau kita sudah risau dalam pikiran, maka segeralah kita berdoa, untuk mohon ampun dari Tuhan. Bahkan di dalam spiritual ada metafisiknya. Orang-orang yang sudah punya intuisi yang tinggi,dikatakan orang pintar. Doa spiritual ada 2 macam yaitu baik dan buruk, suci dan tidak suci. Maka sebelum makan sebaiknya kita berdoa supaya makanannya menjadi suci. Seperti halnya orang Sufi, jika melihat makanan yang belum didoakan sebelum dimakan, maka meihat mie yang ada di pinggir jalan seperti meluhat cacing. Melihat orang yang tidak pernah berdoa, sama dengan mayat berjalan. Sama halnya dengan filsuf yang tinggi, jika kita tidak memikirkannya, kita sebagai mayat yang berjalan.
Adat yang kedua, kita mengetahui objek, metode, karakteristik, sifat filsafat,scope-nya berfilsafat. Maka metodenya berfilsafat disesuaikan dengan hakikat filsafat. objeknya filsafat adalah yang ada dan yang mungkin ada, disesuaikan dengan scope-nya. Kalau filsafat pendidikan matematika, maka objeknya adalah yang ada dan yang mungkin ada di dalam pendidikan matematika. Kalau metodenya, orang Yunani menyatakan dengan hermeunitika atau terjemah dan menerjemahkan. Maka hermeunitika itu subur di area gereja, karena orang gereja menggunakan hermeunitika untuk memahami kitap suci, terjemahkan dan menerjemahkan. Tetapi itu sebenarnya unsure hidup, whatever keadaanya orang akan menggunakan metode hidup, mulai dari kecambah sampai berbuah. Atau bahasa yang lazim digunakan di kalangan orang Jawa adalah silaturahim. Dikatakan bahwa silaturahim dapat menambah rezeki, bisa menambah umur itu benar, karena silaturahim itu mencari ilmu, metode membangun ilmu, menambah ilmu.
Kalau kita mau belajar matematika, maka perlu diingat bahwa fungsi guru adalah memfasilitasi siswa untuk bersilaturahim dengan matematika. Matematika yang mana? School mathematics, disesuaikan dengan dunianya, jangan dipaksakan dengan matematika orang dewasa. Maka sebagai dosen filsafat, Pak Marsigit berfungsi memfasilitasi kita melalui online, blog, coment, elegy, memfasilitasi kita agar dapat bersilaturahim dengan para filsuf. Inilah adab yang kedua.
Adab yang ketiga yaitu dalam berfilsafat sifat-sifatnya bisa diturunkan, berfilsafat itu berdimensi, dimensi, karena berfilsafat itu ekstensif dan intensif, sehingga memunculkan dimensi. Dimensi apa? Dimensi ruang dan waktu. Itu kan hanya 2, padahal jika kita berfikir ekstensi, yang 2 bisa dikembangka menjadi dimensi politik, dimensi masyarakat, dimensi agama. Ternyata aku bisa menemukan bahwa dimensi itu meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Sehingga dengan adanya dimensi itu, maka berfilsafat itu haruslah santun terhadap dimensi ruang da waktu, dan ternyata sesungguhnya tidak hanya dimensi ruang dan waktu saja, tetapi kita harus santun, sadar dan mengerti. Sadar dan mengerti kemudian bisa bersikap sesuai dengan pengetahuannya, itu namanya santun. Jika ada pertayaan, “Bagaimana cara mengajarkan filsafat pada anak-anak?”. Siswa bukan belajar Plato, Aristoteles, Rene Descartes diajarkan, malahan akan membuat anak-anak bingung. Tujuan kita belajar filsafat adalah kita akan memperoleh kualitas 1, turun menjadi 2, turun menjadi 3. Kualitas 1 adalah yang aku lihat, dengar, dan dipegang. Kualitas 2 adalah apa yang ada disebaliknya. Selama ini yang kita kenal adalah metafisik, ditambah lagi metakognisi, kemudian metamatematika. Padahal di dalam filsafat, unsure pembebasnya adalah notion atau kata-kata yang menyatakan sebagai yang mungkin ada. Dengan kata-kata yang mungkin ada itu merupakan unsur pembebas, cuma harus dikendalikan. Jika tidak dikendalikan oleh spiritual maka akan menjadi sangat berbahaya. Jadi, kita harus sadar terhadap ruang dan waktu. Jika kita mempelajari filsafat bukan untuk mengajarkannya kepada anak SD, tetapi untuk beraktualisasi diri. Misalnya tokoh kontruktivis ini, teorinya ini. Konstruktivis sesungguhnya intinya adalah pohon yang berbuah ini. Jadi jika kita sudah belajar filsafat, sangat naïf jika berkata untuk menanamkan konsep, mencetak guru. Artinya dalil Pythagoras mempunyai berbagai macam filsafat, saat guru menulis di papan tulis dan siswa melihatnya itu baru kualitas 1, lalu bagaimna agar siswa mencapai kualitas 2?
Berfilsafat itu tidak boleh parsial, harus dalam keadaan sehat, keseimbangan. Maka filsafat dekat dengan kehidupan kita. Maka sebagai calon guru kita harus memperoleh kembali intuisi yang harusnya di dapatkan anak-anak.  Karena ada 98% intuisi, berarti hanya 2% yang perlu didefinisikan secara formal. Sebagian pertanyaan siswa itu jawabannya adalah pada intuisi. Istilah-istilah ada yang tumbuh dan berkembang, tetapi ada juga yang mati. Jaman dulu sering disebut sebagai bekas camat, bekas gubernur. Maka supaya menjadi lebih terhormat disebut mantan camat, mantan gubernur.
Berbicara tentang pendidikan Indonesia, sejak jaman kemerdekaan kita belum pernah pas mengisi kemerdekaan dengan falsafah negara yaitu Pancasila. Artinya segala macam kehidupan kita menuju demokrasi pancasila. Seharusnya menurut peta Paul Ernest, yang bersusaian adalah Public Educator atau yang Progressive. Tetapi dari dulu sampai sekarang belum pernah terjadi pendidikan yang desentralisasi, masih menggunakan UAN yang sentralisasi. Jadi segala macam krisis dikarenakan pendidikan yang belum pas. Contohnya pada masa Pak Habibie, menteri pendidikannya adalah Pak Wardiman, yaitu back to basic, anak SD hanya perlu bisa membaca, menulis dan berhitung. UAN atau external test merupakan 3 bagian yang kiri, yaitu industrial trainer, technological pragmatis, dan old humanis. Jadi saran Pak Marsigit terhadap pendidikan sesuai dengan peta dunia yang dibuat sendiri oleh Pak Marsigit dari hasil emmbaca Paul Ernest.
Sungguh betapa tidak sehat pendidikan Indonesia, karena kepala ke kampus, tetapi perut ke belakang. Seharusnya jika kepala ke kampus, maka tangan dan kaki juga ke kampus, semuannya ke kampus supaya pendidikan menjadi sehat. Hal itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia dari kemerdekaan sampai sekarang tidak konsisten. Kedua, Bangsa Indonesia tidak mampu mengisi dasar falsafah negara, karena kita lebih banyak terpengaruh oleh tekanan, powernow industry. Padahal jika kita mau konsisten, seperti India yang swadesi dan sebagainya maka berdiri menjadi negara maju. Karaker Indonesia sudah terlanjur tidak jelas. Salah satu alasan memperbaiki kurikulum 2013 karena anak Indonesia tidak mampu mengerjakan soal-soal setara team seperti anak-anak di Amerika. Karakter itu sangat penting bagi kita, sesuai dengan Pancasila yang pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, kita bisa memakai itu. Sejak kemerdekaan kapan kita mengisi kemerdekaan? Yang namanya demokrasi Pancasila dalam dunia pendidikan itu apa? Masyarakatnya harus prulal, heterogenomeus, masyarakatnya harus desentralisasi, menghargai budaya local. Tetapi pada jaman Pak Suharto arahnya ke monokultur, dari Sabang sampai Merauke kurikulumnya sama, kurikulum Indonesia, pakaiannya satu yaitu pakaian Indonesia, tariannya satu yaitu tarian Indonesia.

KONSTRUKTIVISME SEBAGAI METODE


 Sangat sulit menembus ruang dan waktu apabila orang yang bersangkutan tidak menyadarinya. Jika orang lulusan Sekolah Dasar (SD), maka tidak memahami apa itu menembus ruang dan waktu. Padahal sebuah batu pun yang tidak mengetahui makna menembus ruang dan waktu pun sebenarnya juga menembus ruang dan waktu. Menembus ruang dan waktu berkaitan dengan pemahaman seseorang. Jadi, kita beruntung bisa sampai perguruan tinggi dan mempelajari filsafat sehingga kita mengetahui tentang menembus ruang dan waktu.
            Jika kehilangan atau tidak mengetahui arah, berarti kehilangan intuisi ruang. Jika kita tidak menyadari waktu berarti kita kehilangan intuisi waktu. Misalnya kita bangun tidur jam 9 malam kemudian buru-buru mandi dan mau berangkat sekolah, padahal dalam keadaan malam, berarti kita kehilangan intuisi waktu.
            Bagaimanapun system pedidikan, guru dipercaya untuk mengejar di kelas. Maka otoritas dan kesempatan guru adalah mengajar dan berkomunikasi di kelas. Tidak bisa dibayangkan jika kita hidup tanpa intuisi. Karena tidak semua hal harus atau perlu definisi. Misalny ada teman mengajak kita membeli makanan dan memilih menu yang enak. Maka kita tidak perlu definisi enak, definisi menu, definisi makanan. Sejak kapan kita mengetahui konsep enak? Sejak lahir. Itulah contoh intuisi, jadi tidak perlu definisi. Contoh lain konsep panjang, pendek, cinta. Jadi tidak bisa dibayangkan jika hidup tidak ada intuisi. Contoh yang tidak memiliki intuisi adalah robot. Untuk melakukan sesuatu, robot perlu definisi dan tidak punya intuisi. Jadi secahnggih apapun robot, masih kalah dengan manusia, karena manusia ciptaan Tuhan penuh dengan intuisi, sedangkan robot tidak punya intuisi. Sehingga alangkah baiknya dan hebatnya jika pembelajaran dimulai dan menggunakan intuisi.
Bagaimana memperoleh intuisi? Yaitu dengan cara hidup. Kalau orang Yunani menggunakan hermeunitika, kalau orang kita menggunakan silaturahim, orang pendidikan menggunakan eksplorasi, orang filsafat pendidikan menggunakan to construct. Terjemahan dari hermeunitika adalah terjemah dan menerjemahkan. Jadi realistik matematik yang paling bawah itu penting sekali. Jadi caranya menggapai intuisi dari siswa itu menggunakan matematika konkret. Sebagai seorang guru kita tidak boleh sedikit-sedikit meminta definisi kepada siswa. Siswa sebaiknya dilatih mengekspresikan pengalamannya. Misalnya menurut kamu yang kamu pahami sebagai enak itu apa? Yang kamu pahami sebagai sakit itu apa? Jadi tidak perlu menggunakan kata definisi. Membedakan cinta dan kasih sayang itu juga tidak perlu menggunakan definisi. Kecuali untuk terminology khusus, untuk karya sastra, karya ilmiah, scientific, peraturan perundang-undangan itu boleh menggunakan definisi. Jadi ada definisi operasional supaya tujuannya terukur.
Intuisi tidak hanya empiris. Bagaimana anak kecil bisa membedakan ibunya dan neneknya. Ketika tidur, ibu yang selalu mendampingiku. Mengetahui enak, panjang, pendek, baik, buruk, benar, dan salah itu menggunakan intuisi. Tetapi intuisi tidak hanya itu, tetapi ada intuisi murni. Intuisi murni itu jika kita berlatih keras, latihan soal matematika, membuktikan teorema, lama-lama tahu karakter dan sifat teorema dan belum mulai membuktikan saja sudah bisa menebak maksud teoremanya begini. Maka ada intuisi orang-orang yang berpegalaman. Intuisi seorang jendral berbeda dengan prajurit saat menghadapi peperangan, intuisi seorang pejabat dan rakyat itu berbeda dalam hal yang sama. Caranya dengan silaturahim, metode hidup yang paling alami.
          Jika kita belajar tentang hal yang sama sekali belum mengetahui, kemudian menjadi sama sekali mengetahui. Contohnya saat Pak Marsigit sebulan yang lalu akan mereview ke sekolah SMP N 1 Bobotsari. Sebelum Pak Marsigit ke sana dan masih di Yogyakarta, pemahaman Pak Marsigit tentang SMP N 1 Bobosari masih nol, cuma sekedar nama di atas amplop. Kemudian Pak Marsigit pergi ke sana dengan 2 orang teman. Setelah tiba di sana, Pak Marsigit dan temannya menginap di tempat saudaranya. Esok harinya Pak Marsigit dan rombongan di jemput oleh perwakilan SMP N 1 Bobotsari. Sehingga pikirannya mulai terbelah. Hari itu Pak Marsigit dan romobongan pergi ke dinas pedidikan, lalu ke SMP N 1 Bobotsari untuk mengambil gambar. Setengah hari pertama setelah mengambil gambar maka pengetahuannya sudah mulai tumbuh  dan berkembang. Maka Pak Marsigit sudah memiliki banyak informasi tentang SMP N 1 Bobotsari. Setelah itu Pak Marsigit melakukan telaah dokumen Standar Nasional Pendidikan, mulai dari SKL, Standar Isi, RPP, penilaian, keuangan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana. Kemudian guru-guru dikumpulkan, yang berkaitan ditanya. Maka pengetahuannya mulai bertumbuh dan berkembang lagi. Hari yang kedua akan observasi sarana dan prasarana. Maka setelah 2 hari, pengetahuan tentang SMP N 1 Bobotsari sudah dalam posisi bertumbuh, berkembang, berbuah, dan mulai berdiri kokoh. Lalu Pak Marsigit menyapaikan kepada kepala sekolah untuk mengumpulkan guru-guru, karyawan, pengawas, dinas, sarana dan prasarana akan diumumkan hasil monitoring dan evaluasi (monev) di SMP N 1 Bobotsari. Pertemuan akan dilakukan di aula menggunakan speaker aktif dan juga LCD untuk menayangkan hasilnya. Pada akhir kunjungan selama 2 hari pengetahuannya sudah berbuah, dan buahnya bisa dinikmati oleh kepada SMP, guru yang lain tentang pemahaman Pak Marsigit tentang SMP N 1 Bobotsari. Inilah yang disebut dengan konstruktivism. Hal ini berlaku untuk setiap hall yang kita pelajari., termasuk dalil Pythagoras. Ini bisa terjadi 1 hari, 1 jam pelajaran, bisa 2 jam pelajaran, dan bisa 1 semester. Misalnya pohon filsafat pendidikan matematika. Itulah yang dimaksud pembelajaran yang sangat konstruktivism. Gambar tersebut hanya satu-satunya yang dibuat oleh Pak Marsigit. Inilah intuisi dari pengalaman, intuisi orang-orang yang berpengalaman menghasilkan. Intuisii orang berpengalaman dan tidak berpengalaman berbeda. Selama ini pengetahuan tentang intuisi hanya tulisan saja yang membuat kita bosan. Intuisi itu seperti itu. Contoh lain, bagaimana seorang cucu mengetahui tentang bapaknya. Cinta juga begitu, bisa selesai bisa belum. Tetapi pemahaman Pak Marsigit tentang SMP N 1 Bobotsari tidak akan pernah selesai, dipotong 2 hari karena terbatas ruang dan waktu. Seperti cinta Pak Marsigit terhadap istrinya sudah berbuah, buahnya sudah bercucu, tetapi cintanya belum selesai, karena belum bercinta di usia 70 tahun. Seperti halnya Bapak Habibie dan Ibu Ainun, walaupun Ibu Ainun sudah meninggal dunia, tetapi Bapak Habibie masih mencintainya. Bapak Habibie sering datang ke makam Ibu Ainun dan mendoakannya.
            Orang berfilsafat itu berbahaya jika salah ruang dan waktu, dan yang kedua jika parsial/sebagian/sepenggal-sepenggal tidak komprehensif. Filsafat itu untuk orang dewasa. Belajar filsafat itu hanya untuk diri kita sendiri dan orang-orang yang belajar filsafat saja, tidak bisa diajarkan ke luar. Filsafat itu bukan untuk diajarkan pada siswa. hal itulah yang membuat tangisan para filsuf. Kita belajar denga membaca elegy, sesuai dengan gurunya supaya tidak tersesat. Bukan porsinya untuk menyampaikan bahwa matematika itu kontradikif, matematika itu bukan ilmu. Harapannya setelah belajar filsafat, kita menjadi mengendap, berbuah, menjadi bijaksana, kemudian muncul produk baru yang mencerminkan belajar filsafat.
            Selama ini karena kita sakit. Ciri-ciri orang sakit, kepala tidak percaya pada tangan, kepala tidak percaya pada kaki, tangan tidak percaya pada kaki, pejabat tidak percaya pada rakyat, pejabat tidak percaya pada guru. Kurikulum di desain atas dasar ketidakpercayaan pada guru. Kalau pejabat di Jakarta berbicara, sebenarnya UAN tidak diperlukan jika guru dapat dipercaya, guru dirugikan. Yan terpenting adalah mau masuk sekolah ada seleksi, mau masuk perguruan tinggi menggunakan seleksi. Tetapi sekarang ini sama saja, karena masuk sekolah dengan seleksi sudah tidak bisa dipercaya. Karena adanya kong kali kong, korupsi, dan sebelum masuk sudah ada calo supaya mudah diterima. Karena Indonesia terletak di pusaran 4 sungai, yaitu sungai utilitarian, pragmatis, capital, dan sungai hedonism. Karena di pusaran 4 sungai, maka arus di Indonesia tidak jelas. Ada yang arusnya muter-muter, ada yang berbalik arah, sehingga banyak orang yang tenggelam. Tetapi juga ada atlet yang berlatih dan menguji diri sehingga tampil menjadi juara, bersenang-senang, bergembira ria. Sehingga umaroknya bingung, ulamanya bingung. Yang jadi ulama juga tergoda, yang jadi ilmuan tergoda, yang jadi artis tergoda, bahkan pak bupati juga tergoda. Baru menikah 4 hari cerai, nanti menikah 4 jam lalu cerai.
Internasional itu sampah, yang mutiara atau emas itu adalah local jenius kita. Sekarang di Inggris sedang diperjuangkan pernikahan sejenis di gereja. Itu adalah hal yang mengerikan jika sesame jenis menikah. Di Jerman sekarang sedang dipersiapkan undang-undang melarang manusia melakuakan seks dengan binatang, karena di sana sudah banyak terjadi praktek manusia melakukan hubungan seks dengan hewan. Saat ini Indonesia berada pada muara sungai sehingga mau kemanakah arah Indonesia? Itulah pertanyaan Pak Marsigit, itulah saran Pak Marsigit ke pemerintah untuk pendidikan. Apakah ke industrial trainer? Kita sudah tergoda ke sana saat pemerintahan Pak Habibie, basic science sebagai anak emasnya, polanya persis sama dengan Amerika. Tapi kita harusnya tahu diri, jika tidak mengerti pendidikan, maka janganlah mengurus masalah pendidikan. Apakah karena dana pendidikan 20%, dananya yang paling banyak sehingga semua orang berbondong-bondong untuk mengurus masalah pendidikan. Apakah mau ke technology non pragmatis? Tetapi jelas kita old humanis? Tetapi jika sudah pejabat, dengan gagahnya kita membicarakan untuk membangun karakter bangsa. Contohnya Belanda adalah negara berkarakter sehingga mampu menjajah Indonesia 350 tahun. Karakter mau dibawa kemana? Karakter itu bisa didefisikan dari siapa untuk siapa?

MITOS DALAM FILSAFAT



Dalam hidup ini, manusia tidak pernah terhindar dari persoalan-persoalan tentang kehidupan, begitu pula saat berfilsafat pun juga muncul persoalan. Persoalan filsafat dari zaman dahulu hingga sekarang sama saja, orang-orang selalu mengalaminya, karena filsafat sendiri merupakan ilmu yang mempelajari olah pikir seseorang. Olah pikir itu sebenarnya adalah apa yang patut dipikirkan, apa yang pantas untuk dipikirkan, apa yang bisa dipikirkan, dan apa yang tidak pantas untuk dipikirkan. Selanjutnya, jika kita bisa berfikir, maka muncul pertanyaan baru yaitu sejauh mana kita mikirkannya dan bagaimana cara kita memikirkannya, terkait metode-metode yang kita gunakan untuk memikirkannya. Itu merupakan persoalan manusia sejak awal. Karena sesungguhnya manusia ditakdirkan mempunyai pikiran, hanya bedanya pada tingkatan atau dimensi kualitas yang berbeda-beda. Selain itu juga memiliki ektensifitas atau keluasan yang tidak sama satu dengan yang lainnya.
Selain persoalan filsafat, hal lain yang bisa dikaji secara filsafati adalah mitos. Jika zaman Yunani punya mitos, maka kita juga mempunyai mitos. Mitos yang ada tidak selamanya bersifat negatif. Mitos bisa saja bermanfaat. Karena anak kecil belajarnya bukan memakai pehamana tetapi melakukan apa-apa yang tidak dimengerti, itulah yang dinamakan mitos. Kita dalam kehidupan kadang juga melakukan seperti hal itu. Tetapi sebagai mahasiswa akan menjadi hal yang lucu jika tidak mengetahui manfaat dan tujuan melakukan sesuatu. Mitos sejalan dengan intuisi, anak kecil 90% belajar dengan menggunakan intuisi. Maka jika dianalogikan, produk merupakan mitos, sedangkan proses merupakan intuisi. Bagaimana anak-anak memahami panjang, pendek, tinggi, redah, luas, sempit, dan lain-lain itu menggunakan intuisi. Intuisi diperoleh dari interaksi dengan lingkungan sekitar, komunikasi dengan keluarga, teman, dan seterusnya. Contoh intuisi yaitu: kapan kita mngetahui konsep cantik atau tampan? Hal tersebut tergantung dari keterbukaan keluarga, keterbukaan lingkungan, dan seterusnya. Bahkan seorang anak kecil umur 11 bulan bisa mendefinisikan apa itu cantik dengan komunikasi bahasa dan interaksi.
            Kalau di Yunani ada mitos bahwa pelangi sebagai jembatan para bidadari untuk turun ke bumi, maka kita juga punya mitos bahwa di laut selatan ada kerajaan Nyai Roro Kidul. Karena sangat kuatnya mitos sehingga orang-orang tidak berani memikirkannya. Mitos lain menyebutkan jika akan pergi ke pantai jangan memakai baju berwarna hijau karena merupakan warna kesukaan Nyai Roro Kidul. Segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada mempunyai dua sisi, yaitu memiliki kekurangan dan kelebihan. Kelebihan akan adanya mitos laut selatan yaitu orang-orang menjadi santun dan tidak sembarangan terhadap laut selatan sehingga laut selatan terjaga kelestariannya, orang-orang menjadi segan. Kita juga bisa membuat sebuah mitos pada level kecil, misalnya ada pohon mangga yang berjarak 500 m dari rumah sehingga control terhadap buah mangga menjadi berkurang, jadi buahnya sering habis dicuri anak-anak. Maka pada suatu sore sebelum magrip kita bisa berlari-lari ke rumah sambil berteriak hantu, lalu tersiar kabar di kampung bahwa pohon mangga tersebut ada hantunya, sehingga mangganya utuh dan tidak dicuri. Artinya mitos adalah pengetahuan yang diberi motif tertentu. Seorang raja juga butuh mitos untuk mengarahkan rakyatnya dan membuat pengetahuan-pengetahuan. Selain itu, orang Jawa memang memiliki banyak mitos lain, yaitu: tidak boleh duduk di ambang pintu karena takutnya tidak mendapat jodoh; menyapu harus bersih supaya suaminya tidak berjenggot; mencari jodoh tidak boleh yang rumahnya arah timur laut; tidak boleh tidur dengan kepala di utara; pada bulan suro tidak boleh mengadakan pesta; dan lain sebagainya.
            Jika kita tidak mampu mengerti tenang hal yang kita lakukan berarti itu adalah mitos. Tetapi mitos bagi orang lain bisa merupakan ilmu. Mitos dalam diriku atau di luar diriku. Manusia itu hanya bisa berikhtiar, semakin dewasa secara intuisi. Mitos dan intuisi merupakan hal penting untuk belajar anak kecil, karena hampir semua aspeknya adalah mitos yaitu anak-anak tidak mengerti apa yang mereka kerjakan. Misalnya, keterbatasan komunikasi anak 11 bulan yang mempunyai keinginan walau ada kendala berbicara menjadi problem komunikasi. Di dalam perkembangan filsafat yang makro direfleksikan ke dalam mirko (diri kita) kemudian di ektensif dan intensifkan, sehingga muncul pertanyaan tentang bagaimana mengatur keseimbangan antara hati, pikiran, dan tindakan. Jika kita ingin menyamakan hati, pikiran, dan tindakan itu domainnya berbeda. Domain pikiran itu serempak, domain perkataan itu satu per satu bergantian dan seri, sedangkan domain pikiran itu parallel, apalagi tindakan. Secara filsafat sangat sulit untuk mewujudkannya. Secara pragmatis maksudnya kita berbuat bijaksana atau dari sisi pemikiran dan hati kalau kita intensif dan ektensifkan. Bagaimana mengintensifkan hati dan pikiran? Bagaimana mengektensif hati dan pikiran?
            Tebersit juga sebuah tanya bagaimana percaya pada nabi padahal sudah meninggal? Untuk mengenal nabi secara pikiran bisa dari kitab suci, guru agama, buku agama, dan lain-lain. Setiap zaman ada guru spiritual yang mampu membimbing dunia sampai akhirat. Sebenarnya ketika sedang pergi, berperang, mandi, berdiskusi, mengadakan rapat tidak lain tidak bukan bahwa sedang memandang wajah nabi. Dengan mengintensifkan dan mengolah hati, wajah nabi sebenarnya dipandang bukan melalui mata, dipikirkan bukan dengan pikran, tetapi melalui hati.
            Supaya seimbang antara pikiran dan hati bisa bertanya pada ustad, kyai, room, pendeta, tokoh agama, dan lain-lain. Karena dalam hidup ini seyogyanya ada keseimbangan antara pikiran dan hati. Jika hanya pikiran saja yang digunakan, maka lama-lama hati kita akan menjadi tumpul dan tidak peka lagi terhadap sesama kita. Jika kita hanya menggunakan hati, maka pikiran kita pun akan menjadi tumpul, sehingga logika tak berjalan semestinya. Hidup kita adalah antara vital dan fatal. Kuburan adalah tempat roh-roh, sehingga tidak selayaknya berbuat aneh-aneh di kuburan, tetapi harus sopan, mengucap salam, dan lain-lain. Hidup ini juga antara takdir dan nasib. Walaupun kita berusaha, tetapi kita tidak pernah tahu misteri apa yang akan terjadi. Menurut Imannuel Kant namanya adalah pnaumena, sesuatu yang tidak bisa dipirkan, hanya ilmu titen. Secara ontologis, kita punya ciri-ciri, ilmu titen bisa benar bisa juga tidak benar.

Pertanyaan:
1.      Apakah boleh kita tidak percaya pada mitos-mitos yang ada jika kita tidak mengetahui tujuan ato manfaatnya?

MENEMBUS RUANG DAN WAKTU



Berfilsafat itu menyangkut banyak hal, pendapat para filsuf pasti kita perhatian, sejarah juga kita perhatikan, pikiran, logika, dan pengalaman kita. Pengalaman sangat penting termasuk pengalaman berfikir dan membaca. Yang lebih penting adalah bagaimana kita mendeskripsikan secara profesional ide tentang apa yang ada dan yang mungkin ada. Kemudian mendeskripsikan tentang sifat berfikir termasuk intuisi.
            Jangankan kita yang belajar filsafat, sedangkan orang awam yang tidak belajar filsafat. Jangankan orang awam yang tidak belajar filsafat, sedangkan orang yang tidak sekolah. Jangankan orang yang tidak sekolah, sedangkan anak-anak. Jangankan anak-anak, sedangkan binatang. Jangankan binatang, sedangkan tumbuh-tumbuhan. Jangankan tumbuh-tumbuhan, sedangkan batu pun sebenar-benarnya sedang menembus ruang dan waktu. Sebuah batu yang menembus ruang dan waktu, karena mengalamai masa lampau, sekarang, dan yang akan datang, mengalami kehujanan, kepanasan, ruag yang mengalami banyak hujan dan banyak panas.
Menembus ruang dan waktu bisa sangat sulit dan sangat mudah. Tidur saja menembus ruang dan waktu karena tiba-tiba saat bangun sudah pagi. Ternyata menembus ruang dan waktu berdimensi meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Bahkan yang mungkin ada pun menembus ruang dan waktu, contohnya aku dulu hampir berteman dengan dia, hampir itu mungkin, tetapi belum, ternyata menembus ruang dan waktu, yang tidak kita ketahui juga menembus ruang dan waktu. Contohnya soal kesempatan bekerja. Kita lulus tahun ini dan tahun berikutnya itu berbeda soal ruang.
            Bekal yang dipertimbangkan untuk menembus ruang dan waktu yaitu paham tentang ruang dan waktu, memahami tentang adanya filsafat phenomenology, dan memahami tentang filsafat fondasionalism dan anti tesisnya yaitu anti fondasionalism. Sebagai seseorang yang belajar filsafat itu profesional yaitu lebih detail dan lebih rinci.
            Memahami ruang dan waktu. Ruang berdimensi secara umum, yaitu berdimensi 0, 1, 2, 3, 4, dst. Kita punya ruang-ruang yang lain baik horisontal maupun vertikal. Contoh fisik ruang adalah ruang kelas. Ruang yang ada dalam hidup kita adalah ruang berfilsafatnya menurut versi orang spriritualis. Mulai dari materialism, formalism, normatif, dan spiritual. Maka setiap hari dan tiap saat tiadalah orang menembus ruang. Sekaligus kita adalah materialism, formalism, normatif, dan spiritual. Kita adalah ruang berdimensi tak berhingga. Karena spiritual dimulai dari tingkat 0 sampai spiritual tingkat tertinggi. Setinggi-tingginnya manusia spiritualnya tidak akan melebihi nabi dan Tuhan. Seredah-rendahnya manusia jika dia tidak percaya, belum percaya, atau bahkan memusuhi. Apalagi normatif, normatif itu ilmu. Orang yang tidak berilmu, misalnya orang gila itu sebenarnya masih punya pengetahuan karena bisa berjalan dan lain-lain, walaupun tidak berkategori karena kehilangan orientasi kategori. Contoh menembus ruang dan waktu adalah orang sholat. Saat sujud itu termasuk normatif sekaligus spiritual. Waktu ada 3 macam, yaitu: waktu berurutan, waktu berkelanjutan, dan waktu berkesatuan.
            Fenomenologi tokonya dalah Husserr. Isi pokok fenomenologi adalah abstraksi dan idealitas. Sebenar-benarnya manusia adalah abtraksi, karena hanya bisa melihat satu titik, tidak bisa melihat banyak titik sekaligus. Berfikir juga tidak bisa sekaligus memikirkan semuanya pada waktu yang sama, misalnya sedang memikirkan Jakarta maka lupa Surabaya lupa London, dan sebagainya. Apalagi berbicara, maka tidak bisa mengatakan semuanya yag dipikirkan secara serempak bersama-sama. Maka harus memilih kata-kata yang aku katakan. Kata itu ada yang terucap dan tidak terucap. Kata-kata sangat tidak mencukupi untuk mengatakan semua pikiran. Itulah hakikat dari abstraksi atau reduksi.  Filsafatnya adalah abstraksionism dan reduksionism. Dan hakikat manusia adalah abstraksi, itu adalah kodrat.
            Keterbatasan adalah karunia dari Tuhan. Fenomenologi adalah abstraksi, maka Husserr membangun rumah besar yang dipakai untuk menampung/menyimpan semua yang tidak dipikirkan, yaitu rumah ephoce. Visualisasinya berbagai macam, bisa dengan melakukan kegiatan2 atau menutup diri. Belajar matematika misalnya, maka warna, bahan, aromanya semuanya dimasukan ke dalam ephoce, yang dipikirkan hanya ukuran dan bentuknya. Padahal segitiga mempunyai sifat meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Dimensi 1 atau dimensi 2, misalnya materialnya ilmu, maka formalnya ilmu pengetahuan, normatifnya logos atau filsafat, dan spiritualnya ciptaan.
Yang ketiga yaitu the foundasionalism and anti foundasionalism. Sebenar-benarnya foundasionalsm adalah intuisi. Semua umat beragama pasti kaum fondasionalism, karena menetapkan Tuhan sebagai kausa prima, karena sebab dan dari segala sebab dan tidak ada yang mendahuluinya. Semua orang yang menikah adalah kaum fondasionalism. Fondamenya adalah ijab kobul. Maka semua pure mathematics adalah fondasionalism, karena menempatkan definisi sebagai pondasi. Jika engkau tahu kapan engkau mulai itulah kaum fondasionalisme, tetapi lebih banyak lagi dunia ini tidak diketahui kapan mulainya itulah yang disebut intuisionism. Manusia sekaligus fondasionalism dan intuisionism, itulah yang disebut hidup ini kontradiksi. Misalnya mengerti besar dan kecil tidak perlu definisi, itulah yang namanya intuisi. Maka pendidikan di sekolah gagal, siswa benci pada matematika karena mereka telah terampas intuisinya. Contoh: Bagaimana memahami bilangan 2? 2 adalah 1 + 1. 2 adalah 2 x 1. 2 adalah bilangan prima terkecil. 2 adalah 6 : 3. Itu terjadi karena definisi. Padahal 2 tidak perlu definisi, karena mereka sudah tahu sebelum sekolah bahwa tangan mereka ada 2, kakinya ada 2, telinga ada 2, dan seterusnya. Maka 2 tidak perlu definisi.
Brower itu anti fondasionalism. Brower ingin mendidik matematika dengan intuisi. Rasa sayang pada orang tua, agama, berdoa memerlukan intuisi. Mengerti besar kecil, jauh dekat, panjang pendek adalah intuisi ruang. Lama sebentar adalah intuisi waktu. Matematika formal, aksioma itu spesial.

Pertanyaan:
1.      Bagaimana mengajarkan matematika sekolah dengan menggunakan intuisi?

MENCOBA MENGERTI FILSAFAT



Ada 2 hukum di dunia ini yang paling mendasar. Yang pertama hukum identitas dan yang kedua hukum kontradiksi. Hukum identitas jika a = a, aku = aku, berdiri = bediri. Tetai, jika memperhatikan ruang dan waktu maka hukum identitas tidak akan pernah tercapai. Hukum identitas itu artinya subjek = predikat. Hanya Tuhan yang merupakan subjek = predikat, maka orang tidak pernah sama dengan namany. Maka 2 = 2 itu hanya bear jika dipikirkan, kalau ditulis dan diucapkan menjadi salah. Karena kita tidak bisa mengucapkan banyak kata dalam sekali ucap. Maka dalam matematika hanya benar jika dalam pikiran, yang tertulis itu salah menurut filsafat. Dalam hidup ini berlaku hukum kontradiksi, subjek tidak sama dengan predikat. Maka kita tidak pernah sama dengan nama kita masing-masing. Hukum identitas yang kemudian disebut sebagai analitik. Ilmu yang bersifat analitik adalah matematika, karena yang benar adalah yang ada di dalam pikiran. Hukum kontradiksi sifatnya adalah sintetik. Oleh karena itu, di dalam logika (berfikir murni, matematika) sifat pengetahuany bersifat analitik, maka nilai kebenaranya apakah dia konssten atau tidak. Maka matematika nilai kebenaranya dilihat apakah konsisten atau tidak. Sedangkan dalam dunia ini hukumnya adalah kontradiksi, nilai kebenaranya adalah korespondensi. Kemudian ditambah unsure lagi yang identitas berupa definisi, teorema, aksioma, dan lain-lain. Disamping bersifat analitik, maka berfikir itu punya sifat apriori. Apriori itu punya kelebihan merencanakan dan memikirkan apa yang belum dilihat. Sebaliknya dunia pengalaman bersifat aposteriori. Jadi berfilsafat itu berkontradiksi, siap berkotradiksi dengan pikiranmu. Hubunganya dengan hati adalah jangan membiarkan hati kita berkontradiksi, karena jika berkontradiksi maka adalah setan. Ephoce adalah tempat untuk membuang hal-hal yang tidak kita pikirkan. Orang beragama dan tidak beragama bedanya di etik dan estetika, bisa mengelola hati yang tegoda oleh setan.
Tiada seorang filsuf pun yang mengaku dirinya filsuf. Misalya Plato hanya berkarya saja, dan orang lain yang menganggap filsuf. Tiadalah orang yang mampu menguasai filsafat, hanya berusaha mempelajari. Filsafat seorang guru menentukan belajar A dan siswa ingin belajar B, filsafatnya adalah terjeman dan menerjemahkan, yaitu hermeunitika/berinteraksi. Fungsi guru adalah menyediakan alat, sarana, fasilitas sehingga siswa dapat belajar matematika secara optimal. Filsuf, filsuf ilmuan, dan ilmuan filsuf itu berbeda. Misalnya Emanuel Kant dan Pythagoras adalah matmatikawan sekaligus filsuf. Godel dan Fermat adalah tokoh matematikawan murni.
Romamtisme itu bahwa yang benar adalah yang romantic, yang ada yang romantic, hidup ini dipandang sebagai sesuatu yang romantic. Ada unsur keindahan, percintaan, dan unsure kuasa. Kalau dilihat dari romantisisme, peperangan di teluk Persia adalah percintaan Sadam Husein dan Josh Bush. Ketampanan diukur dari kekuasaan. Misalnya di Indonesia yang paling tampan adalah Susilo Bambang Yudoyono, sedangkan di dunia yang paling tampan adalah Barrack Obama.
Munculnya filsafat karena orang tertarik pada objek di luar dirinya, maka orang emnajdi bertanya unsure yang membentuk objek di luar dirinya. Objek pertama filsafat adalah alam. Refleksi paling tinggi dalam filsafat karena di dalamnya ada judgement. Wayang adalah bayangan yang di dalamnya mengandung estetika, unsure filsafat, ilmu, dan seterusnya. Intisari wayang memperoleh kebaikan dan menghindari keburukan. Di dalam wayang ada tokoh-tokoh, di dalam filsafat juga ada tokoh yaitu yang ada dan yang mungkin ada. Dari sisi filsafat, wayang itu adalah usaha memperbincangkan tokoh-tokoh manusia, sebagai simulasi. Di dalam filsafat kita memperbincangkan yang ada dan yang mungkin ada. Tingkatan yang paling tinggi dari siswa memperlajari matematika adalah jika dapat memperbincangkan yang ada dan yang mungkin ada dalam matematika sekolah. Maka ukuran kita dapat berfilsafat jika mampu  memperbincangkan yang ada dan yang mungkin ada. Wayang juga mengajarkan nilai tata krama dan pusat-pusat kerajaan.
Kita tidak bisa memiih fisafat, artinya filsafat itu lebih dari cair, lebih dari seperti udara, lebih dari secepat suara, tetapi secepat cahaya karena filsafat adalah olah pikir. Para filsuf adalah pintu masuknya filsafat. Jika kita mengambil salah satu filsuf, pasti akan membaca tokoh yang lain. Misalnya tokoh Imanuel Kant yang tetap juga berubah, idealis juga realis, rasionalis juga empiris.
Tesis adalah yang ada dan yang mungkin ada. Misalnya tesisnya A, maka antitesisnya adalah selain A. Maka kita bisa mendefinisikan dunia dengan tesis dan antithesis. Jika ada perbedaan adalam pendapat, maka dibicarakan. Untuk mengetahui olah pikir kita mengalami peningkatan adalah dengan refleksi, setiap jenis ujian adalah refleksi.

Pertanyaan:
1.      Bagaimana mengaplikasikan ilmu filsafat dalam kehidupan kita?

FILSAFAT MEMBINGUNGKAN?


Filsafat akan membuat orang lain menjadi semakin jelas. Jika menjadikan seseorang menjadi bingung, maka filsafatnya bermasalah. Jadi, jika kita mengalami kebingungan, bukan penjelasanya yang kurang jelas, tetapi kita yang sedang belajar. Terjadilah hubungan timbal balik, karena metode berfilsafat itu terjemah menerjemahkan.
Persoalan filsafat ada 2, jika yang dipikirkan di luar pikiranmu, bagaimana kita mengetahuinya. Sebagian besar merasa sudah mengetahuinya,padahal belum mengetahuinya. Maka sebodoh-bodohya orang jika tidak tahu,tetapi merasa sudah tahu. Kalau sudah tahu, maka bagaimana menjelaskannya pada orang lain. Contohnya: betapa sulitnya menjelaskan rasa cinta suami pada istrinya. Tetapi jika istrinya bertanya, “Bagaimana cinta suaminya besok? Bagaimana setelah 10 tahun lagi?” maka tidak akan pernah bisa menjelaskan rasa cintanya.
Berfilsafat adalah olah pikir yang reflektif. Hidup dibagi 2, yaitu tataran atas dan tataran bawah. Tataran atas adalah logika, sedangkan tataran bawah adalah pengalaman. Contoh berfikir tanpa pengalaman: orang takut dengan singa walaupun tidak mempunyai pengalaman diterkam singa. Contoh pengalaman yang tidak pakai berfikir: kita mengajak kucing berlibur ke pantai, tetapi kucing tidak bisa memikirkan pengalamanya. Padahal sebagain besar manusia tidak memikirkan pengalamanya. Itulah tugas dan manfaat berfilsafat.
Ketika masih belajar, jangan prejudging. Cara mengembalikan keoriginalan pikiran kita adalah dengan berinteraksi, terjemah dan menterjemahkan. Menggapai keseimbangan berfikir, keseimbangan filsafat, dan keseimbangan hidup berdasarkan keteguhan hati atau spritualitas, sehingga pemikiran orang lain untuk membangun filsafat. Tidak ada seorang filsuf pun yang tidak terinsprirasi oleh filsuf lain. Karena hidup kita tidak terisolasi. Orang yang tidak mau berfilsafat, seperti orang yang berada di laut, tetapi tidak peduli dengan airnya apakah asin atau tawar. Kita adalah subjek atau objek yang berputar pada porosnya, yaitu spritualitas. Belajar filsafat itu bersifat anyware and anytime. Semakin air mendekati hulu, maka airnya semakin universal, sedangkan semakin mendekati hilirairnya semakin kontekstual. Begitu pula yang terjadi pada filsafat, semakin ke atas maka filsafat semakin universal, semakin ke bawah semakin kontekstual.
Objek filsafat adalah yang ada dan yang mungkin ada. Yang mungkin ada itu terletak di dalam pikiran kita. Hidup setiap saat adalah mengubah yang mungkin ada menjadi ada. Tiada berfilsafat kalau tidak mengacu pada tokoh.
Mengembangkan pola pikir dalam berfilsafat yaitu dengan metode hidup. Contohnya: bagaimana pohon bisa hidup, burung bisa hidup, dan seterusnya. Seperti bumi yang berpusat pada porosnya, maka bumi tidak akan pernah menempati ruang yang sama, seperti kita yang tidak pernah menempati tempat yang sama. Hendaknya kita meniru ciptaan Tuhan, maka kita berputar pada doa kita.
Memulai filsafat dengan baik dan benar dengan menaati norma yang disepakati. Kepastian adalah musuh filsafat. Dalam urusan pikiran, maka kepastian adalah musuhnya. Kadangkala kita mengalami kebingungan dalam berfilsafat, hal itu terjadi supaya kita mampu memikirkannya. Kebingungan yang terjadi karena isi mencari wadahnya. Misalnya bola yang ditempatkan pada ruangan besar bisa ditendang ke segala arah, sedangkan jika ditempatkan pada wadah yang pas, maka tidak akan bisa bergerak. Jika kita mengalami kebingungan dalam filsafat, hendaknya kita berhenti memikirkanya lalu berdoa atau beristirahat. Karena filsafat itu adalah proses mengembarakan pikiran yang bisa mengakibatkan hati bererosi. Maka dalam satu kali berfilsafat, hendaknya kita sepuluh kali berdoa. Jika dua kali berfilsafat, maka 20 kali berdoa.
Jangan merasionalkan keyakinan kita. Filsafat itu tergantung orangnya. Batas antara sesat dan tidak sesat itu tipis. Seperti yang terjadi pada bawang. Bawang itu adalah isi sekaligus juga kulit.
Diri kita sendiri adalah ketidakadilan. Kodrat bahwa manusia tidak bisa adil, kodrat pula manusia berusaha menjadi adil. Karena ada hukum reduksi, Tuhan juga memberlakukanya. Contoh: kita tidak memilih siapa ibu yang akan melahirkan kita. Kita bisa hidup karena ketidakadilan itu. Ikhtiar manusia untuk mengapai keseimbangan.
Berfikir filsafat itu abstrak dan riil. Anak kecil belajar menggunakan mitos, karena melakukan tanpa mengetahui. Ilmu matematika adalah pengandaian. Konsep awal, awal bisa menjadi segala-galanya. Manusia tidak bisa lepas dari awal. Dalam filsafat, awal adalah pondasi, aliranya adalah fondasionalism. Kita dikatakan mulai berfilsafat saat merefleksikan hidup. Setiap yang ada dan yang mungkin ada punya kebenaranya masing-masing. Kebenaran spriritual itu absolute. Filsafat itu berbicara tentang berpikir. Matakognisi bisa dikategorikan ilmu bidang psikologi, tetapi bisa ikut filsafat.
Filsafat itu olah pikir. Jadi, manfaat kita belajar filsafat adalah kita bisa berolah pikir. Kalau tidak belajar filsafat, berarti tidak mempelajari cara filsafat. Filsafat matematika adalah memikirkan apa yang ada dan yang mungkin ada dalam matematika. Filsafat itu menembus ruang dan waktu.

Pertanyaan:
1.      Mengapa filsafat itu dikatakan menembus ruang dan waktu?

FILSAFAT DALAM ANGANKU



Filsafat pendidikan matematika terdiri dari filsafat dan pendidikan matematika. Dalam hal ini kata filsafat ditempatkan di depan pendidikan matematika. Kata filsafat juga dapat ditempatkan di depan kata yang lain, misalnya filsafat pendidikan biologi, filsafat sains, filsafat olah raga, filsafat seni, filsafat politik, filsafat hidup, filsafat mati, filsafat lahir, filsafat cinta dan seterusnya. Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia, yang terdiri atas dua kata: philos(cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan shopia (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Dan seorang filsuf adalah pencari kebijaksanaan, pecinta kebijaksanaan dalam arti hakikat. Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam. Para filsuf merumuskan pengertian filsafat sesuai dengan kecenderungan pemikiran kefilsafatan yang dimilikinya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya. Manusia filosofis adalah manusia yang memiliki kesadaran diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang independen dan bersifat spiritual.
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoretis dan filsafat praktis. Filsafat teoretis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan, dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan metafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan politik.
Defenisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah masalah falsafi pula. Menurut para ahli logika ketika seseorang menanyakan pengertian (defenisi/hakikat) sesuatu, sesungguhnya ia sedang bertanya tentang macam-macam perkara. Tetapi paling tidak bisa dikatakan bahwa “falsafah” itu kira-kira merupakan studi yang didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk ini, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu dan akhirnya dari proses-proses sebelumnya ini dimasukkan ke dalam sebuah dialektika.
Adapun beberapa pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan filosof adalah: upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas, upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar secara nyata, upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan sumber daya, hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya, penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan, disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu Anda melihat apa yang Anda katakan dan untuk menyatakan apa yang Anda lihat.
Ada tiga karakteristik berpikir filsafat yakni: sifat menyeluruh, sifat mendasar, dan spekulatif. Sifat menyeluruh: seseorang ilmuwan tidak akan pernah puas jika hanya mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin tahu hakikat ilmu dari sudut pandang lain, kaitannya dengan moralitas, serta ingin yakin apakah ilmu ini akan membawa kebahagian dirinya. Hal ini akan membuat ilmuwan tidak merasa sombong dan paling hebat. Di atas langit masih ada langit. Sifat mendasar: yaitu sifat yang tidak saja begitu percaya bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti sebuah pertanyaan yang melingkar yang harus dimulai dengan menentukan titik yang benar. Spekulatif: dalam menyusun sebuah lingkaran dan menentukan titik awal sebuah lingkaran yang sekaligus menjadi titik akhirnya dibutuhkan sebuah sifat spekulatif baik sisi proses, analisis maupun pembuktiannya. Sehingga dapat dipisahkan mana yang logis atau tidak.
Secara umum filsafat berarti upaya manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis. Berarti filsafat merupakan sebuah proses bukan sebuah produk. Maka proses yang dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan mengikuti pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak. Dengan demikian filsafat akan terus berubah hingga satu titik tertentu (Takwin, 2001). Filsafat jua bisa didefinisikan sebagai hidup, jadi metode berfilsafat adalah metode hidup. Karena filsafat itu metode hidup yang mempelajari pola berfikir maka ada beberapa asumsi, yang pertama adalah melihat fakta tenang kondisi faktual pribadi kita masing-masing. Sebagai anak muda kita masih berusaha keras untuk mewujudkan cita-cita kita. Kita memiliki potensi-potensi untuk dikembangkan, misalnya kita kuliah di jurusan pendidikan matematika maka kita mempunyai potensi untuk menjadi seorang guru matematika, tetapi itu baru sebagai potensi belum menjadi kenyataan. Selain itu kita juga berpotensi untuk membangun rumah tangga, menjadi seorang istri atau suami, tetapi semua hal itu masih sebagai potensi dan belum menjadi kenyataan. Potensi lain yang kita miliki misalnya potensi menjadi dosen, berpotensi melanjutkan kuliah S2 di luar negeri, dan lain sebagainya.
 Belajar filsafat itu harus bebas, bebas dari motif, bebas berfikir (free thingking) tanpa tekanan, tanpa paksaan dari orang lain, tanpa dikejar-kejar, dan sebagainya. Kalau kita dalam keadaan tertekan atau dikejar-kejar sesuatu, bagaimana kita dapat mempelajari filsafat, padahal filsafat itu sendiri adalah bebas berfikir (free thinking). Jadi kita tidak bisa mempelajari filsafat bila di bawah tekanan orang lain, dipaksa orang lain, atau dikejar-kejar orang lain. Belajar filsafat itu berarti membelajari tata cara berfilsafat. Seperti halnya beribadah, kita mempelajari tata cara beribadah yang sebenarnya ibadah itu sendiri. Misalnya untuk yang beragama Islam mempelajari tata cara sholat, sebenarnya sholat itu adalah ibadah itu sendiri. Untuk yang beragama Katholik mempelajari tata cara penerimaan sakramen babtis, sakramen babtis itu adalah ibadah itu sendiri, dan seterusnya untuk agama lain ada tata cara tersendiri untuk beribadah.
Filsafat dapat didefinisikan sebagai apa saja. Plato (427–348 SM) menyatakan filsafat ialah pengetahuan yang bersifat untuk mencapai kebenaran yang asli. Sedangkan Aristoteles (382–322 SM) mendefenisikan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Menurut Descartes (1596–1650), filsafat ialah kumpulan segala  pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikannya. Filsafat adalah hidup. Dan di dalam hidup ada pikiran, perasaan, daya upaya, masalah, solusi, dan sebagainya. Salah satu persaan yang kita miliki adalah cinta, terutama kita sebagai anak muda sering merasakan yang namanya jatuh cinta. Apa itu cinta? Bagaiman filsafat cinta? Cinta bukan sekedar rasa suka terhadap lawan jenis, rasa sayang, dan rasa rindu. Banyak orang berusaha mendefinisikan apa itu cinta, namun tidak ada yang sungguh bisa mendefinisikan apa itu cinta. Cinta itu juga tidak terduga kapan datangnya, jatuh cinta kepada siapa, kapan dan dimana akan bertemu tidak ada yang tahu pasti. Pada awal jatuh cinta maka biasanya anak muda merasa bahagia, membayangkan hal-hal yang indah, bahkan kadang bisa tersenyum sendiri. Seperti ada lirik lagu yang berbunyi “Bila aku jatuh cinta aku mendengar nyanyian seribu dewa dewi cinta menggema dunia. Bila aku jatuh cinta aku melihat matahari kan datang padaku dan memelukku dengan sayang. Bila aku jatuh cinta aku melihat sang bulan kang dating paaku dn menemani aku melewati dinginnya mimpi. Bila aku jatuh cinta bersama dirimu.” Namun besarnya cinta seseorang tidak bisa diukur, sehingga terkadang hanya diibaratkan seluas samudra, setinggi bintang di langit, seluas jagad raya, seperti matahari yang tak pernah lelah menyinari bumi, dan lain-lain. Bila orang sedang jatuh cinta maka dia rela melakukan apapun untuk mendapatkan cintanya sehingga muncul kata-kata cinta itu buta, cinta ini kadang tak ada logika, dan sebagainya. Seperti halnya filsafat yang dapat diartikan sebagai sebuah proses, maka dalam filsafat cinta juga terjadi sebuah proses, sehingga suami istri yang sudah menikah 10 tahun pun masih dalam proses memahami satu sama lain, dalam poses saling mencintai, dan mereka tidak tahu setelah 5 tahu lagi bagaimana cinta yang akan mereka alami.
Komponen dasar berfilsafat adalah logika dan pengalaman. Unsur dasar secara filsafati adalah rasio dan pengalaman. Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.
Asumsi kedua adalah sebagai anak muda yang dalam keadaan lari kencang untuk mewujudkan keinginan atau cita-citanya lalu kita disuruh berhenti untuk belajar filsafat. Maka tidak seharusnya ilmu filsafat itu diberikan secara teoritis dengan membaca buku filsafat atau dijelaskan saja, tetapi alangkah lebih tepat atau lebih bijaksana apabila kita sebagai anak muda diberikan ruang untuk dapat membentuk atau membangun sediri apa itu filsafat. Untuk dapat membangun filsafat itu sendiri maka perlu adanya refleksi-refleksi, membaca artikel-artike filsafat kemudian merefleksikannya, merefleksikan apa yang terjadi dalam hidup kita jika dilihat dengan kacamata filsafat.
Dalam membangun tradisi filsafat banyak orang mengajukan pertanyaan yang sama, menanggapi, dan meneruskan karya-karya pendahulunya sesuai dengan latar belakang budaya, bahasa, bahkan agama tempat tradisi filsafat itu dibangun. Oleh karena itu, filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan latar belakang budayanya. Dewasa ini filsafat biasa dibagi menjadi dua kategori besar menurut wilayah dan menurut latar belakang agama. Menurut wilayah, filsafat bisa dibagi menjadi: filsafat Barat, filsafat Timur, dan filsafat Timur Tengah. Sementara, menurut latar belakang agama, filsafat dibagi menjadi: filsafat Islam, filsafat Budha, filsafat Hindu, dan filsafat Kristen. Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Dalam tradisi filsafat Barat, dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu. Metafisika mengkaji hakikat segala yang ada, Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan, Aksiologi membahas masalah nilai atau norma yang berlaku pada kehidupan manusia, Etika, atau filsafat moral, membahas tentang bagaimana seharusnya manusia bertindak dan mempertanyakan bagaimana kebenaran dari dasar tindakan itu dapat diketahui, Estetika membahas mengenai keindahan dan implikasinya pada kehidupan. Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Filsafat adalah spiritual. Karena berdoa dan beribadah itu hidup. Beragama yang diwujudkan dengan beribadah itu hedaknya menggunakan hati. Kita tidak bisa menganal Tuhan hanya menggunakan pikiran dan logika saja, kita perlu menggunakan hari kita untuk menengenal Tuhan.


Referensi:
Dikases pada 24 September 2012 pukul 09.00.
NN. 2012. Filsafat. www.wikipedia.co.id/Filsafat.htm . Dikases pada 24 September 2012
pukul 09.00.


Pertanyaan:
1.      Apakah kita bisa hidup tanpa filsafat? Mengapa?
2.      Untuk mencintai seseorang apakah harus mempelajari filsafat cinta? Atau untuk memahamii filsafat cinta harus mengalami yang namanya jatuh cinta?
3.      Apakah dengan adanya globalisasi akan mempengaruhi filsafat itu sendiri?
4.      Karena filsafat adalah hidup, apakah untuk belajar filsafat membutuhkan waktu seumur hidup? Ataukah seumur hidup kita tidak cukup untuk belajar filsafat?
5.      Jika filsafat sapat diartikan apa saja sesuai dengan pandangan masing-masing, apakah pengertian filsafat bersifat relative?